Empat Puluh Tiga

Zacznij od początku
                                    

Ambyarrrrr

Vanilla merasa detak jantungnya tidak lagi normal dan wajahnya terasa panas. Segera ia mengipas tangannya kearah wajah ketika Dava sedang serius memperhatikan berkas yang baru saja diberikan Vanilla.

"Memangnya ruangan disini panas ya?"

Vanilla terkejut akan teguran Dava. Ia langsung cengengesan, "gak kok," jawab Vanilla terdengar salah tingkah.

"Atau...." Dava meletakkan berkas yang ia pegang, seraya bersandar sembari menyilang kan kaki.

"Atau apa?"

Dava kembali tersenyum lebar. "Bukan apa-apa. Aku cuma mau bilang, kamu cantik kalau lagi salah tingkah."

"Dav... Gue ngerasa aneh pakai panggilan aku-kamu."

"Kenapa?"

"Aneh aja."

"Hmmm.." Dava bergumam sembari berpindah tempat, "kalau gitu panggil sayang aja."

Untuk kedua kalinya hati Vanilla merasa luluh. Vanilla berusaha untuk bersikap sebiasa mungkin, tapi tak bisa di pungkiri, Dava membuatnya degdegan dan rasa ingin memiliki Dava semakin besar. Dava yang Vanilla lihat sekarang sangat berbeda dengan Dava yang ia kenal ketika Vanilla masih menjadi Vennelica. Apa dulu sebelum ingatannya hilang, Dava sama seperti sosok yang sekarang? Atau Dava mencoba sedikit lebih lunak agar Vanilla nyaman didekatnya?

"Dav, kita harus meeting seka..." Kalimat Soraya menggantung ketika ia membuka pintu ruangan Dava dan mendapati Dava sedang bersama Vanilla.

Dava dan Vanilla pun sontak menoleh kearah Soraya yang berjalan pelan masuk ke dalam sembari memberikan tatapan tidak bersahabat pada Vanilla.

"Biasakan kalau masuk ketok pintu dulu," tegur Dava sebagai atasan Soraya.

Soraya membungkukkan badan seraya meminta maaf. "Para pemegang saham sedang menunggu anda di ruang rapat," ujar Soraya berubah menjadi formal.

Dava membalas kalimat tersebut dengan gumaman, lalu ia mengalihkan pandangannya pada Vanilla yang pura-pura tidak ada diantara Dava dan Soraya. "Kamu mau nunggu disini atau mau langsung balik?" tanya Dava.

Vanilla langsung melirik jam di pergelangan tangannya. "Gue ada janji sama arsitek yang mendesain bangunan untuk butik gue, ada sedikit yang gak srek dan mau gue ubah," jawab Vanilla tidak mengindahkan kata Aku - Kamu yang digunakan Dava.

"Pak, kita harus ke ruang rapat sekarang!" interupsi Soraya mempertegas kata diakhir kalimatnya.

"Saya tahu."

Dava menghela napas, "ya sudah kalau gitu aku harus ke ruang rapat sekarang. Kamu bisa pergi ke lobby sendiri kan?" tanya Dava dibalas senyuman serta anggukan pelan oleh Vanilla.

Dava ikut menyunggingkan senyum. Ia mengusap rambut Vanilla sebelum pergi dari ruangannya, di ikuti oleh Soraya yang menatap seolah berbicara urusan antara Soraya dan Vanilla belum selesai.

Tatapan mata Soraya hanya dibalas senyum miring oleh Vanilla. Bagaimanapun juga hari ini ia menang telak dari Soraya. Vanilla bisa membayangkan betapa tersulut nya emosi Soraya sekarang. Apalagi melihat sikap Dava yang berubah manis ketika sedang bersama Vanilla.

Sekarang Vanilla sendirian diruang kerja Dava. Ia memandang seluruh ruangan dengan seksama. Memperhatikan lukisan-lukisan yang tertempel di dinding, file-file berkas yang tersusun rapih, buku-buku mengenai bisnis dan manajemen di rak buku, dan hiasan-hiasan lainnya.

Mata Vanilla langsung tertuju pada meja kerja Dava. Di sana ada sebuah frame foto yang sengaja Dava letakkan diatas meja. Awalnya Vanilla pikir foto itu adalah foto keluarga Dava, ternyata itu adalah foto dirinya bersama Dava yang masih mengenakan seragam SMA. Vanilla tidak ingat mengenai foto tersebut, tapi entah mengapa ia merasa senang sekaligus sedih.

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz