Until they intend to leave me

576 80 3
                                    

"Maaf, Haechan."

Haechan terduduk dan bersandar di pintu rumah sakit. Ada Anggi dan Mark yang sedang mengalami pendarahan cukup parah. Haechan menunduk dan memeluk kedua lututnya. Berusaha untuk tenang tapi pikiran nya selalu menyangkut kedua teman nya.

Ucapan maaf dari Mark sebelum ia menutup kedua matanya membuat Haehan kembali menyesali akan perbuatan nya. Kenapa ia telat membuka handphone nya?

Haechan berdiri dan mencoba melihat dari sisi kaca, melihat dokter yang sedang sibuk mengurusi kedua teman menyebalkan nya itu. Haechan menghembuskan nafas nya kasar sebelum kaki nya menendang kursi besi panjang di sebelah nya.

"Kenapa sih?!" teriaknya.

Haechan merasakan tangan menyentuh pundak nya. Buru-buru ia menoleh, terdapat lelaki yang lebih tinggi beberapa senti meter dari nya. Haechan buru-buru memalingkan wajahnya, ia tidak membiarkan lelaki di hadapan nya dapat melihat wajah yang basah karena air matanya.

"Haechan,"

"Diem Doyoung, asal lo tau kalau gue benci sama lo yang udah nyia-nyiain sahabat gue."

Lelaki itu Doyoung, mendengar kabar tersebut membuat dirinya tertarik untuk mengunjungi gadis yang menyukai nya- atau yang ia sukai juga.

"Gimana penampilan perempuan itu, yang lo liat barusan?" tanya Doyoung dengan suara yang tenang.

"Pucat. Ada banyak darah. Lemas." jawab Haechan tanpa menatapnya.

Doyoung menghembuskan nafas nya. Ia duduk di kursi yang sebelumnya Haechan tendang sekuat tenaga. Doyoung berusaha mengajak Haechan untuk duduk di sebelahnya, tapi yang di lakukan Haechan hanya berdiri dan menunduk.

"Gue mau disini-"

"Anggi lagi menderita disana." Haechan menunjuk ruangan itu. "Kalau lo tiba-tiba muncul di hadapan nya lagi. Anggi bisa aja kembali jatuh ke pelukan lo dan lebih menderita." ucap Haechan yang sekarang menatap Doyoung dengan tatapan kebencian nya.

Doyoung terdiam mematung. Matanya menatap Haechan yang juga menatapnya dengan penuh kebencian. Doyoung bisa merasakan emosi Haechan melalui caranya berbicara sejak tadi. Entah karena memang benci atau khawatir dengan sahabatnya.

"Doyoung, gue mau nanya satu hal."

"Apa?"

"Anggi, menurut pandangan lo giman? Sebagai perempuan yang amat sangat lo benci itu." pertanyaan sarkas yang membuat Doyoung tertawa kecil. Ia melihat keseriusan Haechan dari pertanyaan nya.

Doyoung menghela nafas nya pelan. "Dia baik, gue akuin dia amat sangat baik." ucapnya pelan. "Tapi karena kebaikan nya yang bikin gue gak mau sekedar jadi teman dia."

"Maksudnya?"

"Gue tau lo ngerti." Doyoung menunduk. "Anggi itu baik. Kayanya, siapapun yang pernah berinteraksi sama Anggi, dia bakal jatuh cinta lewat pandangan mata. Anggi punya mata yang ramah, dia gak akan berbohong saat dia memandang sesuatu."

"Gue gak paham maksud lo."

"Gue gak bakal mau ketemu atau jatuh cinta sama orang baik yang jelas gue tau suatu saat nanti gue bakal kehilangan dia." ucap Doyoung dan membuat Haechan ingin memprotes ucapan nya. "Tapi sialnya, gue malah ketemu sekaligus jatuh cinta sama orang yang jelas gue tau dia bakal ninggalin gue." lanjut Doyoung dan membuat Haechan terdiam.

Doyoung menatap Haechan dalam. "Gue cinta sama Anggi, mungkin sampai gue mati." Ia tersenyum tipis. "Gue gak suka ngerasa kehilangan apalagi ditinggal orang yang gue cintai langsung."

Obrolan mereka terhenti ketika pintu ruangan terbuka dan memperlihatkan dokter dan satu suster di sebelahnya. Dokter tersebut terasa letih dan lesu ketika keluar dari ruangan.

Haechan dan Doyoung buru-buru menghentikan langkah mereka demi mendapatkan jawaban yang terpendam sedari tadi. Haechan menatap dokter dengan penuh harap.

"Dok, Anggi gapapa?"

"Kritis." jawab singkat Dokter tersebut. "Maaf, Haechan." lanjutnya.

"Kalau lelaki itu?" tanya Doyoung dengan nada yang datar.

Dokter itu menggelsng dan menepuk kepala Haechan pelan. "Maaf ya Haechan."

"Dok-"

"Teman lelaki kamu gak selamat."

*****

Di taman rumah sakit yang cukup luas, Doyoung menemani Haechan yang melempar batu-batu kecil ke kolam yang ada di hadapan nya. Melempar asal karena pikiran nya saat ini begitu kosong.

Doyoung menoleh ke arah Haechan yang pandangan nya tetap lurus. Ia memberikan soda yang sebelumnya ia ambil di mesin minuman. Tapi Haechan mengabaikan nya.

"Minum dulu, gue tau ini hari terberat lo."

Haechan menoleh ke Doyoung. "Hari terberat? Harusnya gue seneng kan?"

Doyoung tidak memberikan ekspresi apapun, ia hanya memandang secara datar dan menghela nafas nya berkali-kali. Sementata Haechan hanya tersenyum penuh kemenangan.

"Penyebab Anggi kembali kritis itu dia, orang yang gak tau diri kalau sebenernya dia sakit." lanjut Haechan dengan nada penuh penekanan.

"Lo jahat juga." Doyoung meletakan kaleng soda disebelah Haechan dan berdiri. Ia berjalan meninggalkan Haechan tanpa berpamitan.

Hanya ada satu kalimat yang membuat Haechan terdiam beberapa menit.

"Tapi, kalau sosok teman meninggal, pasti ada teman lainnya yang menangis loh."

Ucapan Doyoung membuat air mata Haechan menetes tanpa Haechan sadari. Hari ini Haechan menangis karena teman lelaki nya, Mark.

'Selamat tinggal, Mark. Beristirahatlah."

*****

Doyoung menghentikan langkahnya ketika ia melihat wanita paruh baya berada di hadapan nya untuk beberapa langkah. Doyoung terkekeh pelan.

Wajah wanita paruh baya itu memperlihatkan kesedihan yang mendalam. Doyoung bisa merasakan nya dari kejauhan.

Doyoung berjalan untuk mendekati nya. Mencoba melihat wajah Nyonya El yang menunduk.

"Nyonya, kali ini mau nerima organ saya buat nyelamatin orang yang saya cinta?"

7 days -DoyoungKde žijí příběhy. Začni objevovat