"Gue titip mobil gue ya, biar Jason yang ambil," ujar Vanilla sembari mengambil tasnya yang tergeletak diatas meja.

"Mau pergi sekarang?" tanya Vanessa dibalas anggukan oleh Vanilla.

"Dava udah nunggu di depan."

Vanessa langsung melepas apron yang dipakainya dan mengantar Vanilla hingga depan pintu.

Sebelum pergi, Vanilla terlebih dahulu memeluk Vanessa dan bercipika-cipiki ria. Tak lupa ia juga berpamitan pada Antonio yang berdiri disebelah Vanessa.

Vanilla pun berlari kecil melewati halaman rumah Vanessa menuju mobil Dava yang terparkir persis didepan pagar rumah Vanessa. Vanilla membuka pintu mobil tersebut, masuk kedalam seraya menyapa Dava. Setelah Vanilla masuk, Dava menurunkan kaca mobil dan membunyikan klakson sebelum menjalankan kendaraannya.

Vanessa melambaikan tangan dan lambaian tersebut dibalas oleh Vanilla hingga akhirnya mobil Dava melaju, meninggalkan area perumahan Vanessa menuju tempat tinggal Dava.

*****

"Lo tinggal di apartemen?" tanya Vanilla ketika Dava baru saja menghentikan mobilnya di parkiran gedung apartemen milik Dava.

Dava tidak menjawab, ia hanya bergumam seraya keluar dari dalam mobil dan mengambil bahan-bahan makanan yang ia letakkan di jok belakang. Sebelum ke apartemen, Dava dan Vanilla memang mampir ke super market untuk berbelanja, karena isi kulkas di apartemen Dava hanyalah air mineral dan beberapa kaleng soda.

Tanpa saling berbicara, mereka masuk kedalam lift. Dava menekan tombol lantai 24 tempat unit apartemennya. Setelah lift berdenting, mereka langsung berjalan menyusuri koridor hingga sampai di pintu paling ujung.

"Kata sandi apartemen gue, tanggal ulang tahun Lo," ujar Dava sembari menekan angka hingga pintu apartemennya terbuka.

Segera Vanilla mengikuti langkah kaki Vanilla masuk ke dalam apartemen Dava yang super super rapih, seperti tidak pernah ditinggali.

"Kalau sudah nikah nanti, Lo mau tinggal di apartemen ini atau---"

"Jangan bahas itu sekarang, nikmati aja prosesnya." Vanilla menginterupsi perkataan Dava karena sedikit kesal jika menyinggung masalah nikah. Jangankan menikah, hubungan mereka saja tidak jelas statusnya apa. Pacar bukan, tunangan bukan, hanya sebatas masa lalu yang belum selesai.

"Memangnya kenapa? Lo gak mau nikah sama gue?"

Vanilla menjawab dengan endikan bahu sembari meletakan belanjaan yang dipegangnya keatas meja dapur. "Jadi niat Lo ajak gue makan malam bareng, biar gue bisa jadi tukang masak Lo?" tanya Vanilla sarkastik membuat Dava tertawa.

"Latihan jadi istri yang setiap hari masakin suami."

Entah sejak kapan Dava menjadi orang konyol seperti ini. Padahal dari yang Vanilla tahu, Dava bukan tipikal cowok seperti Elang yang menjawab pertanyaan serius dengan candaan tak masuk akal.

"Mau barengan gak?" tanya Dava sembari membuka jas dan kancing kemejanya.

"Barengan apa?"

"Man--" Vanilla sigap mengambil barang apa saja yang ada disekitarnya. "Maksud gue masaknya nanti barengan," ralat Dava cengegesan.

Vanilla memutar bola mata dan langsung mengusir Dava. Sepertinya Vanilla salah bertemu orang, atau mungkin yang ada bersamanya sekarang bukan Dava mantan pacarnya ketika masih sekolah, melainkan orang bernama Dava yang kebetulan mirip secara fisik, tapi tidak secara kelakuan.

*****

"Soraya gak ada gangguin Lo kan?" tanya Dava ditengah makan malam mereka yang hening.

Vanilla hanya menggelengkan kepala sembari melilitkan pasta digarpu dan memakannya. "Memangnya kenapa?" tanya Vanilla berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

"Ya gapapa sih," jawab Dava. "Gue cuma gak mau Lo berurusan sama Soraya. Dia tipikal orang yang obsesif dan akan melakukan segala cara agar tujuannya dia tercapai."

"Termasuk menikah dengan Lo?"

Dava hanya mengangguk pelan sebagai balasan. "Awalnya gue sama dia..."

"Gue tahu kok awal pertemuan kalian gimana."

"Tahu dari siapa?"

"Vino."

"Dasar ember!"

Vanilla tertawa mendengar umpatan Dava. Meski pelan tapi masih terdengar ditelinga Vanilla.

"Dan Lo gak cemburu?"

"Untuk apa gue cemburu?" Vanilla malah balik bertanya sementara Dava mengangkat kedua bahunya.

"Dav..." Vanilla mengamit salah satu tangan Dava yang berada diatas meja. "Gue gak cemburu karena gue percaya sama Lo. Gue yakin Lo gak akan tergoda meski dia berusaha untuk mengambil hati Lo. Saling percaya itu kunci dari sebuah hubungan. Kalau gue gak percaya sama Lo, Lo gak percaya sama gue, untuk apa diteruskan? Lebih baik hidup sendiri dan saling melupakan."

"Kalau pada akhirnya gue tergoda?" Dava bertanya dengan hati-hati, takut menyinggung Vanilla.

Vanilla tersenyum, "tamu itu bisa datang kapan aja, tapi.. dia gak akan bisa masuk kalau tuan rumah gak membukakan pintu untuknya. Kecuali dia maksa, itu berarti dia maling."

Dava tertawa mendengar kalimat pengandaian Vanilla. Padahal tidak ada yang lucu dari kalimat tersebut. Ekspresi Vanilla pun menunjukkan bahwa ia sedang berbicara dengan serius.

"Vanilla.. Lo mau kan nunggu gue sebentar lagi?" ucap Dava kembali serius.  Vanilla mengembangkan senyuman dan menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Gue harus buktiin ke bokap gue kalau perusahaan bisa terus berjalan tanpa campur tangan keluarga Soraya."

Vanilla tidak menjawab, namun ia tersenyum lebar sembari mengusap punggung tangan Dava yang masih digenggamnya. Mereka pun kembali melanjutkan makan malam yang tertunda akibat obrolan mereka.

Setelah selesai makan, Dava langsung membantu Vanilla mencuci piring-piring kotor. Momen yang sederhana, namun begitu menyenangkan. Baik Vanilla maupun Dava menikmati detik demi detik yang mereka habiskan bersama.

Semoga saja kejadian seperti ini bisa berlangsung hingga mereka menua bersama.

*****

Gak terasa banget sudah hampir mau setahun yang lalu aku publish cerita ini. Rasanya kayak baru di publish Minggu lalu😂

Senin, 21 September 2020

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now