14. Terkejut

871 46 2
                                    

Eva mendatangi bos mudanya yang sedang duduk di ruang keluarga sembari memainkan ponsel.

"Gia, sedang sibuk, ya?" tanya Eva, santai namun tetap sopan.

Gia menengok, "Nggak, sih. Ada apa, mbak?"

"Tadi ada laki-laki datang ke sini, ngakunya sih temannya Gia. Jadi saya persilahkan masuk untuk menunggu, tapi mendadak dia dapat telepon dan harus pergi."

Gia menaikkan sebelah alis. Memikirkan kira-kira teman yang mana yang dimaksud Eva. "Namanya siapa?"

"Akash."

Ponsel dalam genggaman Gia mendadak tergeletak lemah ke atas lantai hingga menimbulkan bunyi. Gia terlalu terkejut dengan pernyataan Eva.

"A... Akash?" tanya Gia terbata, masih sangat kaget. "Tapi dia enggak masuk ke rumah, 'kan?"

"Mas Akash minta menunggu di dalam, jadi saya persilahkan. Soalnya ngaku temannya Gia, jadi saya enggak berani nolak."

Tenggorokan Gia tercekat. "Tapi anak-anak enggak ketemu orang itu, 'kan? Enggak lihat dan enggak ngobrol, 'kan?" tanya Gia panik.

"Mereka justru main bareng."

Gia tidak mempedulikan nasib ponselnya yang masih di lantai, wanita itu beringsut pergi menghampiri anak-anaknya yang sedang berada di kamarnya.

*

Bulan dan Bintang bingung sebab mereka tengah asik bermain, tetapi Gia datang dengan wajah yang histeris dan memeluk keduanya dengan sangat erat.

"Mami kenapa peluk kuat-kuat?" tanya polos Bintang yang merasa pelukan maminya tidak biasa.

"Kalian enggak apa-apa, 'kan, sayang?"

"Iya, kita enggak apa-apa." jawab Bulan.

"Enggak ada yang ngomong jahat sama kalian, 'kan?" tanya Gia sekali lagi.

"Enggak ada. Mana ada yang mau jahat sama kita, 'kan ada aku, mami." ujar Bulan menenangkan kekalutan maminya dengan gaya sombong.

Gia melepaskan pelukan pada dua gadis kecilnya, lalu menatap mereka secara bergantian. "Tadi main sama siapa?"

"Uncle Akash." kompak mereka. Namun jelas, Bintang yang sangat antusias menjawab. Bahkan wajah anak itu berseri-seri.

"Dia enggak ngomong buruk ke kalian?"

Bulan hanya menggeleng, Bintanglah yang menceritakan. "Uncle baik, mami. Mau main semuanya, uncle juga bikin aku ketawa. Besok mau main lagi bawa barbie sama boneka."

Gia menggeleng. "Main sama mami aja."

"Tapi uncle seru juga." timpal Bintang.

"Anak-anak cantik," Gia mengusap masing-masing poni dora mereka secara bergantian. "Ingat kata mami, enggak boleh terlalu akrab sama orang asing."

"Tapi, 'kan dia teman mami, bukan orang asing." sahut Bulan. Entah mengapa, dia ingin membela laki-laki itu dihadapan maminya. Walau pada kenyataannya sikap Bulan pada Akash tidak sehangat sang kembaran.

Tidak mau melanjutkan obrolan itu, Gia membawa kedua anaknya menuju kamar mandi untuk gosok gigi sebelum tidur.

*

Walau Bulan dan Bintang sudah disiapkan kamar sendiri, tetap saja jarang tidur berdua di kamar mereka. Kedua anak itu selalu berdalih ingin menemani sang mami, namun Gia senang-senang saja.

Bintang sudah terlelap saat Gia baru saja membacakan setengah dari keseluruhan dongeng yang ia bacakan, berbeda dengan Bulan yang masih membuka mata dengan segar.

"Kok belum tidur, sih?" tanya Gia, mengusap puncak kepala Bulan yang ada di seberangnya. Posisi mereka terhalang bintang yang berada di tengah-tengah.

Bulan menatap Gia sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke langit-langit kamar. Ruangan itu remang-remang hanya dengan lampu tidur saja.

"Bulan," tegur Gia.

Bulan membangunkan tubuhnya, lalu mendekati sang mami di sisi lain yang tidak ada tubuh adiknya.

"Kenapa?" Gia ikut duduk dan menggeser tubuh Bulan agar mereka saling berhadapan.

"Mami, kapan Bulan sama Bintang punya papi?"

Jantung Gia mencelos. Ia selalu takut ketika anak-anaknya kelak akan membahas topik tentang papi.

"Kok kita enggak punya papi?"

"Bulan, mami sudah bilang, kalian enggak usah mencari orang yang enggak ada."

"Tapi aku mau punya papi."

Gia membawa tubuh berisi Bulan ke pangkuannya dan mendekap hangat gadis kecil itu. "Sayang, nanti kalau Tuhan udah kasih, pasti Bulan sama Bintang punya papi."

"Tapi kenapa semua orang punya papi, aku enggak?"

Tanpa bisa ditahan-tahan, air mata Gia mengucur begitu saja.

Anak itu tidak tahu dan tidak boleh tahu bahwa papinya pernah tidak menginginkannya dan juga kembarannya.

Mendengar isakan dari maminya, Bulan membebaskan tubuh, kemudian mendongak. "Mami kenapa nangis? Bulan cuma tanya, kok."

Gia semakin terisak. Dia boleh ditanya apapun, bahkan jika ada orang yang akan kembali mengusiknya tentang 'hamil di luar nikah', Gia tidak akan goyah. Tetapi ketika anak-anaknya menanyakan sosok ayah, disitu titik lemah Gia.

Tangan-tangan kecil Bulan mengusap air mata yang membasahi pipi Gia. "Mami jangan nangis. Aku enggak apa-apa kok enggak punya papi, 'kan ada mami."

Gia memaksakan tersenyum dan terlihat baik-baik saja demi anaknya. "Oke, mami enggak nangis lagi."

Bulan memeluk erat tubuh Gia dan menenggalamkan wajah di dada ibunya. Pecahlah tangisan anak itu. Membuat Gia terkekeh lucu ditengah kesedihannya.

"Loh, mami enggak boleh nangis, terus kenapa Bulan nangis?"

"Maafin aku, mi..." gumamnya sembari terisak-isak.

"Enggak apa-apa, sayang." Gia mengusap punggung kecil Bulan, menenangkan.

Namun mendadak suara tangisan nangis ikut membahana di ruangan itu. Bintang terbangun dan langsung menangis, mungkin kaget.

"Kalian ini astaga, lucu banget." ucap Gia sembari terkekeh geli. Segera wanita itu membagi pelukan pada Bintang.

"Maaf..." rintih Bulan lagi. Yang dengan polosnya diikuti oleh sang adik walau dirinya tidak tahu menahu tentang maaf apa yang dimaksud.

Bukan mereka yang harus meminta maaf, tetapi Gia. Wanita yang beranjak dewasa itu benar-benar meminta maaf pada anaknya yang sudah terlahir dalam keluarga yang tidak utuh, tidak jelas dan tanpa ayah.

*

Regards,
Becca

10 September 2020

Madre JovenWhere stories live. Discover now