7. Rewel

892 41 1
                                    

"Huekkk... huekk..."

Sejak tadi Gia mual tidak keruan. Padahal ia sedang ada jadwal home schooling. Terhitung sudah lebih dari lima kali mondar mandir dari ruang keluarga ke toilet.

"Gia, lebih baik kamu istirahat aja dulu. Besok kita lanjut lagi belajarnya." ucap Ibu Sita ketika Gia baru kembali.

"Enggak apa-apa, Bu?"

Ibu Sita tersenyum lembut. "Nanti sore kalau sudah enakan, kamu kirim aja tugasnya melalui surel."

Gia bernapas lega, sebab gurunya ini sangat baik. Selalu pengertian tanpa pernah merendahkan kondisi Gia yang memang sudah Adel beritahukan sebelumnya.

"Istirahat, ya, jangan lupa minum air putih yang banyak."

Gia mengangguk. Kemudian Ibu Sita membereskan tas dan bukunya dan segera berpamitan untuk pulang.

Gadis yang tengah berbadan dua itu duduk di sofa, lalu mengelus perutnya yang semakin terlihat menonjol di usia kandungan menginjak bulan ke tiga. Pikirannya berkelana entah ke mana. Hidupnya tidak pernah sebahagia dulu lagi semenjak hamil. Posisi seperti ini, Gia tidak pernah meminta pada Tuhan.

Di tengah-tengah melamun, suara bel rumah berbunyi. Awalnya Gia cuek karena pasti akan ada asisten rumah tangga yang membukakannya, namun bel itu terus berbunyi. Maka, Gia berinisiatif membukanya sendiri walau sebenarnya tidak ingin bertemu siapa-siapa dulu.

"Selamat pa—" Gia yang tadinya membuka pintu sembari menyapa, kini terdiam.

Akash berdiri di hadapannya.

Gia menggigit bibir bawahnya, menahan hasrat yang ingin memeluk tubuh Akash. Rindu sekali dengan pria itu, tapi Gia tidak ingin melupakan kekecewaannya.

"Hai," sapa Akash, kaku. Pria itu juga bingung harus memulai dari mana.

"H-hai..." lemah Gia.

"Boleh bicara sebentar?"

Gia memastikan keadaan di dalam rumah, lalu mengangguk pada Akash. Gia mengajaknya duduk di halaman depan, tidak ingin mengajak pria itu masuk. Meski tidak ada ibunya dan juga Wulan, namun Gia ingin menghargai keduanya dengan tidak memberi kebebasan pada Akash.

"Mau bicara apa?" tanya Gia to the point setelah mendaratkan bokong di kursi.

"Kabar lo gimana?"

Gia tahu itu basa-basi, tapi tidak bisa kah Akash mencari bahan yang lain? Siapa yang akan baik-baik saja saat hamil dan ditinggalkan kekasih yang tidak ingin bertanggung  jawab?

"Baik." Kata itulah yang keluar dari bibir Gia. "Kamu ngapain ke sini?"

"Gue... gue mau bertanggung jawab,"

Gia memandang serius manik mata Akash, kemudian tertawa remeh beberapa detik setelahnya. "Kepala kamu baru aja terbentur?"

"Gue serius." Akash tidak peduli jika niatnya hanya dianggap lelucon.

"Gimana sama papa kamu?"

"Gue akan pergi dari rumah kalau mereka engga mau mendukung niat gue untuk tanggung jawab."

Harusnya Gia senang, tapi mendengar kalimat barusan justru membuat perut Gia bergejolak hebat. Ia menutup rapat mulutnya dengan tangan agar tidak muntah sembarangan.

"Gia, lo baik-baik aja?"

Gelombang itu semakin besar, hingga Gia memutuskan masuk ke dalam rumah dan memuntahkan apapun yang ingin perutnya keluarkan.

Akash masih menunggu, sambil berpikir. Apakah setiap hari Gia seperti itu?

Oh, God! Laki-laki macam apa gue ini?! batin Akash yang kesal pada dirinya sendiri.

Tak berselang lama Gia kembali duduk di samping Akash. Pemandangannya kali ini agak berbeda, Gia tengah mengusap perutnya yang tertutup kaos rumahan. Jujur, rasanya tangan Akash ingin ikut bergabung di sana.

"Setiap hari mual kayak tadi?" Akash memberanikan diri bertanya.

"Enggak, baru-baru aja." dingin Gia. Ia ingin menunjukkan sikap kuat walau keadaannya memaksa lemah.

"Lo mau hidup berdua sama gue, Gia?"

"Aku enggak mau kalau memang papa kamu belum bisa menerima kami. Lebih baik aku di sini sama mama dan Wulan." tegas Gia.

"Plis, kasih gue kesempatan untuk tanggung jawab ke lo dan anak gue." mohon Akash. Beberapa malam ini Akash dihantui perasaan bersalah yang luar biasa hingga mengakibatkan dirinya tidak bisa tidur dan selalu gelisah sepanjang hari.

"Gimana caranya kamu mau tanggung jawab, sementara enggak ada support dari papa kamu?"

"Ada nyokap gue. Dia mau bantu urus pernikahan kita, tanpa diketahui papa."

Gia berpikir sejenak. Dia bimbang antara ingin atau tidak, sebab ini juga menyangkut hidup kedua anaknya kelak. Gia tidak bisa egois, tapi juga tidak berani mengambil keputusan seorang diri. Gia terlalu muda, terkadang jauh dari kata rasional. Labil dan impulsif.

"Bilang sama mamaku tentang niat baik kamu ini."

Akash menghela napas berat. "Oke, gue akan bilang ke nyokap lo nanti malam."

Gia mengangguk. Apapun keputusan ibunya nanti, ia akan menurut. Feeling seorang ibu pasti tidak salah.

Suasana di antara mereka hening. Keduanya sibuk menjelajah pikiran masing-masing. Jika dulu saat hubungan mereka baik-baik saja, akan selalu ada saja yang membuat keduanya tertawa. Tapi kini, semuanya berubah. Bisakah kembali seperti sedia kala?

"Gue sengaja bolos demi menemui lo,"

Gia tersadar dari lamunannya, kembali menatap Akash yang memang masih menggunakan seragam putih abu-abunya.

"Terus kamu menganggap itu sebuah perjuangan besar?" remeh Gia.

"Ya, enggak, tapi seenggaknya lo tahu kalau gue ada niat berubah."

Gia mengangguk pelan, tidak tahu bagaimana harus menanggapi Akash. Wanita itu masih terus mengusap perutnya dengan gerakan pelan yang kadang kala bisa mengurangi kram atau masalah kecil lainnya.

"Berapa bulan?"

Gia menaikkan alisnya bertanya, tidak paham dengan pertanyaan singkat Akash.

"Anak gue, udah berapa bulan?"

"Tiga." singkat Gia.

Harusnya ini waktu yang tepat bagi Gia untuk mengatakan pada Akash jika anak mereka kembar, tapi lidah Gia mendadak kelu. Ia ingin lihat dulu seberapa besar usaha Akash berjuang untuknya dan untuk anak-anak mereka.

*

Regards,
Becca

19 Agustus 2020

Madre JovenWhere stories live. Discover now