1. Berubah

1.3K 48 1
                                    

Hanya menangis dan mengurung diri dalam kamar yang bisa Gia lakukan dalam beberapa hari ini. Bahkan dia sudah tidak mau masuk sekolah lagi. Malu, putus asa, marah dan kecewa.

Merutuki kebodohannya dan meratapi nasibnya yang tidak baik. Tiga tahun lalu, setelah seminggu berulang tahun Gia kehilangan sosok ayah karena penyakit jantung. Tahun ini, dirinya hamil di luar nikah. Gia benci pesta ulang tahun. Di balik kebahagiaan yang ia dapat dalam satu hari akan lenyap dengan kesedihan yang menyusul.

"Gia!!" teriak seseorang dari luar.

Gia tahu itu bukan ibunya, sebab ibunya selalu sibuk bekerja, bekerja dan bekerja. Yang memanggilnya ialah Wulan, sepupunya.

"Gia, buka pintunya!!"

Gia menggeleng meski tidak ada yang dapat melihat kecuali Tuhan.

"Gia, lo kenapa? Buka pintunya, gue mau bicara!!"

Gadis itu tidak bergerak sama sekali. Masih ketakutan dan putus asa. Tetapi tak lama kemudian pintu kamarnya terbuka, menampilkan Wulan bersama salah satu asisten rumah tangganya.

Wulan berlari menghmpiri Gia yang terduduk lemah di lantai, memeluknya. Wulan mengusap punggung Gia guna memberi kekuatan.

"Non Wulan, makanannya bibi taruh sini, ya." ucap asisten rumah tangga itu sembari meletakkan nampan ke atas nakas.

"Makasih, bi." jawab Wulan.

Asisten rumah tangga itu keluar dan menutup pintu kamar, membiarkan dua majikan kecilnya menghabiskan waktu untuk menyelesaikan permasalahan.

"Lo kenapa?"

Gia menggeleng kuat dan makin terisak dalam pelukan Wulan.

"Hei, everything will be fine."

Ingin Gia mempercayai kalimat tersebut, tapi tidak. Semuanya tidak akan baik-baik saja, hidup Gia sudah resmi hancur.

Wulan melepaskan pelukannya, beralih memegangi kedua pundak Gia. "Ada masalah apa? Cerita sama gue."

"G-gue... hamil..." ujar Gia terbata dengan suara parau.

Mata Wulan membola, tetapi segera ia tertawa sumbang dan menggeleng. "Demi apapun, becandaan lo kali ini nggak lucu."

"Gue serius."

Tangan Wulan menghempaskan pundak Gia. "Nggak lucu, Gia!! Gue udah nggak akan kemakan prank nggak jelas lo ini!!"

"Gue beneran hamil, Wulan!!" kesal Gia ditengah derasnya tangis.

Wulan menggenggam tangan Gia, bergetar. Dari sana lah akhirnya Wulan percaya jika perkataan Gia bukan suatu kebohongan. Wulan memeluk sepupunya lagi dengan sangat erat, ikut menangis.

Usia enam belas tahun dan hamil. Sama sekali bukan sesuatu yang mudah, terlebih lagi Gia belum menikah dan masih sekolah.

*

Sarapan pagi ini terasa begitu kaku. Jika biasanya Gia dan Wulan saling melempar candaan, keduanya justru bungkam.

Adel—Ibunda Gia—merasakan perbedaan itu. Oke, hubungannya dengan Gia memang tidak seakrab ibu dan anak pada umumnya, tetapi Adel tetap lah ibu kandung Gia yang dapat merasakan perubahan sang anak.

"Kalian kenapa? Tumben anteng pagi ini?" Adel memancing obrolan.

"Nggak apa-apa, tante." jawab Wulan.

Wulan ialah anak dari Kakak Adel. Kedua orang tuanya sudah tidak ada sejak kecil karena mengalami kecelakaan kapal, bahkan hingga saat ini jasadnya tidak pernah ditemukan. Akhirnya Adel dan suaminya merawat Wulan pada saat itu, kebetulan Gia juga anak tunggal. Jadi lah mereka keluarga kecil yang berbagaia. Tetapi sepeninggal Ayah Gia, mereka sisa berempat. Adel banting tulang meneruskan perusahaan sang suami untuk memenuhi segala kebutuhan anak dan keponakannya.

"Gia nggak sekolah? Kenapa masih pakai piyama?" tanya Adel lagi.

Gia hanya menggeleng sembari menunduk lesu. Adel tahu ada yang tidak beres, tetapi Adel juga tidak bisa berbuat banyak. Jika terus-terusan bertanya, maka Gia akan merasa tertekan.

"Nanti sore mama pulang cepat, kita jalan-jalan, ya."

"Aku ikut, tante!!" seru Wulan.

Adel tertawa ringan. "Iya, dong, pasti."

"Gia nggak bisa." sambar Gia sembari bangkit dari kursinya.

Gia terlalu malu untuk keluar rumah dan bertatapan wajah dengan orang lain. Ia merasa dikucilkan oleh dunia yang sungguh kejam ini.

*

Sore itu Adel dan Wulan benar-benar jalan entah kemana tanpa Gia. Mereka butuh refreshing, jadi tidak terlalu ambil pusing karena Gia tidak ikut. Toh, mereka juga pasti membelikan sesuatu untuk Gia.

Sore itu Gia gunakan waktu kosongnya untuk duduk di ayunan rotan yang bergerak dengan ritme pelan. Halaman rumahnya sedang sepi, mendukung Gia untuk melamun lagi. Memikirkan bagaimana caranya meluruskan benang yang terlanjur kusut.

Lalu, seseorang menepuk pelan pundak kiri Gia, refleks gadis itu menoleh. Entah dari mana datangnya, tapi orang itu adalah Akash. Gia mendengus pasrah.

"Gimana?"

Gia tidak menjawab sebab tidak paham kemana arah pertanyaan Akash.

"Lo udah setuju untuk gugurin kandungan lo? Gue udah dapat info tentang klinik aborsi."

"Gila, ya, kamu!!" hardik Gia.

"Lo yang gila!! Lo itu masih kecil, terus lo berpikir mau punya anak?" Akash berdecih remeh. "Lo nggak akan bisa hidupin dia."

Gia berdiri meninggalkan ayunannya. "Aku memang masih kecil dan mungkin emang nggak bisa hidupin dia, tapi seenggaknya aku berusaha. Nggak pengecut kayak kamu! Kamu itu laki-laki, harusnya kamu berani bertanggung jawab!"

Akash menaikkan sebelah bibirnya. "Jadi lo yakin mau lahirin dia ke dunia tanpa ayah?"

"Aku pastiin kamu akan menyesal karena pernah nggak menginginkan anak kamu sendiri." ucap Gia dengan suara berat yang terlampau dalam.

Gadis itu segera masuk ke dalam rumah dan membanting pintu utama dengan keras. Bukti bahwa dia tidak membutuhkan Akash.

Pria itu terdiam. Posisinya serba salah. Ayahnya Akash adalah pria yang tegas bahkan bisa dibilang kejam, itu sebabnya Akash terlalu pengecut untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Usia Akash masih delapan belas tahun, sudah pasti ayahnya akan marah besar jika mengetahui fakta yang ada. Apa lagi ayahnya selalu menekankan Akash agar bisa menjadi penerusnya dalam memimpin perusahaan.

Kalimat terakhir Gia yang terkesan mengancam tadi cukup membuat tubuh Akash meremang. Membayangkan akan ada sesosok manusia yang hidup dengan mengaliri darahnya tetapi tidak pernah mengenal dirinya, itu sangat menyedihkan.

*

Regards,
Becca

28 Juli 2020

Madre JovenWo Geschichten leben. Entdecke jetzt