6. Ganda

893 44 2
                                    

Mengandung tidak selalu enak, namun bukan berarti selalu tidak enak juga. Akan selalu ada pasang surut di setiap fase kehidupan.

"Gia, ayo, sayang."

Gia segera menyampirkan tas selempangnya ke pundak. Sang ibu sudah memanggil dari luar kamarnya.

Hari ini memasuki bulan kedua kehamilan Gia, mereka akan cek kandungan.

Gia segera keluar kamar dan langsung bertemu sang ibu yang masih harus mengetik beberapa pesan untuk kantornya. Ibunya memang banyak berubah semenjak Gia hamil;lebih banyak meluangkan waktu. Bahkan rela absen sebentar dari kantor demi menemani Gia rutin cek kandungan.

*

Setelah diberi gel, perut Gia diraba dengan sebuah alat. Gia, Adel dan dokter fokus pada layar ultrasonografi.

"Terdapat dua kantung ternyata." kata dokter yang langsung membuat Gia mengerutkan kening tidak paham.

"Maksudnya, dok?"

Dokter itu tersenyum, lalu mengalihkan perhatian pada Gia. "Itu artinya, calon bayinya ada dua."

Gia dan Adel terbelalak. "Kembar?" kompaknya.

"Iya, betul sekali."

Gia senang bukan main. Bagaimana tidak, sekali hamil ia akan langsung melahirkan dua anak. Tapi di lain sisi ia juga takut pada proses melahirkannya. Satu saja sulit, bagaimana dua.

Setelah selesai memeriksa, dokter memberi beberapa keterangan pada Gia dan Adel yang sudah duduk di depannya.

"Usia Nyonya Gia masih terlalu muda untuk mengandung, apa lagi anak kembar. Jadi disarankan untuk tidak terlalu berpikir berat sehingga membuat stres."

"Iya, dok, saya pastikan anak saya dalam kondisi bahagia terus." jawab Adel dengan yakin.

Dokter berambut sepundak itu mengangguk. "Apa sudah ada keluhan yang dirasakan?"

"Kemarin mulai mual-mual, dok." balas Gia.

"Oke, saya akan resepkan obat pereda rasa mual dan beberapa vitamin untuk penguat ibu dan bayinya."

Setelah berpamitan, mereka langsung menebus obat.

"Gia duluan aja ke mobil, biar mama yang ambil obatnya."

"Eh, nggak apa-apa, ma?"

Mengusap surai panjang Gia, Adel mengangguk. "Nanti Gia capek kalau tunggu disini. Di mobil, 'kan bisa rebahan atau bersandar."

Gia mengangguk. "Ya, udah, Gia ke mobil duluan, ma."

*

Sendiri di mobil membuat Gia jadi memandangi hasil USG janin kembarnya.

"Halo, babies." Gia tersenyum kecil menyapa dua makhluk dalam perutnya. "Mami baru tahu kalau kalian berdua di dalam sana. Jangan bertengkar, ya." Gia terkikik.

Pikiran Gia melayang. Akash harus tahu jika anak mereka akan ada dua, kembar. Tapi ponsel Gia masih disita oleh Wulan. Sepupunya itu terlanjur membenci Akash hingga tidak akan membiarkan Gia masih berhubungan dengan Akash.

Atau biarkan saja Akash tidak tahu?

Disini Gia berjuang sendirian. Akash bahkan tidak berhasil meluluhkan hati ayahnya, padahal ada tiga orang yang begitu membutuhkannya. Harusnya Akash berusaha lebih keras, bukannya menyerah dan hanya meninggalkan janji.

Bimbang. Dilema.

Ditengah kegamangan tak berujung itu, pintu mobil sebelah kanan terbuka. Masuklah Adel yang langsung menyerahkan beberapa bungkus obat pada Gia.

"Makasih, ma."

Adel terkekeh singkat. "Iya, sayang. Sama-sama, tapi nggak perlu berterima kasih terus menerus."

"Tapi Gia merepotkan mama terus."

"Siapa bilang?"

"Gia."

Adel meraih tangan kanan Gia untuk ia genggam. "Nggak ada mama merasa direpotkan sama Gia. Sejak lahir, kamu itu tanggung jawab mama. Tanggung jawab seumur hidup."

"Maaf, Gia sempat benci mama karena mama kerja terus dan nggak ada waktu untuk Gia."

Adel mengecup punggung tangan putrinya. "Nggak apa-apa, sayang. Pokoknya sekarang nggak boleh sedih-sedih. Ingat, baby-nya ada dua, itu artinya tanggung jawab Gia semakin besar."

Gia mengangguk. Melihat wajah sang ibu, Gia seperti mendapat semangat baru.

"Ya, udah, kita sekalian jemput Wulan, ya."

*

"Apa?!" pekik nyaring Wulan.

"Ih, Wulan!! Nggak usah teriak-teriak, dong. Sakit telinga gue." protes Gia.

"Eh, sori. Tapi beneran lo hamil anak kembar?"

"Iya, beneran. Masa' boongan, sih."

Wulan memeluk Gia dengan erat dan gemas. Persepupuan itu begitu akrab, hingga apapun yang membuat salah satunya bahagia maka satunya juga akan ikut bahagia, begitu pun jika bersedih.

"Selamat. Selamat. Selamat." riang Wulan sembari melepaskan pelukannya.

"Lan, boleh nggak handphone gue dibalikin?"

Wulan menyipitkan mata dengan tatapan penuh selidik. "Mau hubungin Akash?"

Gia mengangguk, karena bohong pun percuma. Wulan terlalu peka untuk hal-hal semacam ini.

"Nggak!" tegas Wulan. "Gue sama Tante Adel udah sepakat untuk menjauhkan lo dari Akash. Lo berhak bahagia tanpa bayang-bayang dia. Cowok pengecut itu nggak berhak mendapat berita apapun tentang amaknya."

"Tapi dia tetap ayah dari anak ini, Wulan."

"Kalau dia merasa ayahnya, harusnya dia datang kesini dan mempertanggung jawabkan."

"Dia punya alasan—"

"Apapun alasannya, dia tetap salah. Apa lagi waktu lo cerita dia minta lo gugurin bayi itu. Dia bener-bener brengsek, Gia. Lo jangan kemakan janji manisnya lagi!!"

"Tap—"

"No!" hardik Wulan. "Kita bisa rawat lo dan bayi-bayi lo tanpa si bajingan itu."

"Bayi ini butuh ayah, Lan."

"Nanti kita cari ayah baru untuk dia. Fokus lo sekarang cuma menjaga kandungan lo."

Menghela napas, Gia menyerah menghadapi sepupunya. Ucapan Wulan memang ada benarnya, walau jujur saja Gia masih berharap pada Akash. Berharap Akash akan bertanggung jawab atas dirinya dan anak-anak mereka, suatu saat nanti.

Wulan menyentuh perut Gia. "Hai, bayi-bayi kesayangan onty. Cepat besar dan cepat keluar, ya. Mau kamu cewek atau cowok, onty akan sayang banget sama kamu."

Gia terkekeh. Wulan berhasil mengalihkan pikirannya dari Akash.

*

Regards,
Becca

2 Agustus 2020

Madre JovenWhere stories live. Discover now