8. Ingkar

866 43 1
                                    

Sebulan berlalu, Akash tidak pernah kembali untuk memenuhi janjinya. Dan untuk kesekian kali harapan Gia harus hancur. Ia menyesal, kesal dan merasa bodoh. Akash selamanya akan menjadi pria brengsek.

Gia berhenti berharap.

Tiga hari lalu ia check up kandungan dan dokter menyayangkan Gia yang terlalu stres hingga kehamilannya sempat terganggu. Salah satu detak jantung bayinya melemah, namun dengan beberapa saran dokter, keduanya kembali sehat.

Bayi-bayi empat bulan di dalam perut Gia menyebabkan perut remaja itu sudah membuncit dengan sangat besar. Untuk beberapa aktifitas, Gia merasa sedikit kesulitan melakukannya.

"Lo kalau butuh sesuatu minta tolong sama gue, Tante Adel, atau mbak. Jangan sendiri Gia, kasihan bayi-bayi di dalam sana." tutur Wulan hampir setiap hari selalu seperti itu.

"Aku cuma hamil, Wulan. Aku bukan pasien penderita sakit kronis."

"Iya, gue tahu... Tapi untuk beberapa gerakan, lo perlu mengurangi. Contohnya nunduk, lo enggak bisa karena perut lo yang udah terlalu besar."

"Ayo ke taman," ajak Gia mengalihkan pembicaraan.

"Mau ngapain?"

"Jalan-jalan pagi aja, aku mau nikmatin matahari."

*

Berkeliling sekitar taman kompleks ditemani oleh Wulan sambil menikmati hangatnya matahari pagi, bagi Gia itu sudah sangat cukup untuk menenangkan jiwanya yang berkali-kali hancur.

"Lo sedih, Gia?"

Gia terkekeh mendengar pertanyaan Wulan. "Enggak, gue sudah baik-baik aja."

"Masih mengharap Akash?"

Gia menghela napas berat, lalu menggeleng. Meski di lubuk hati terdalamnya masih sangat amat mengharapkan kehadiran Akash.

"Dia di sekolah juga enggak kelihatan baik-baik aja, gue yakin dia menyesal. Dan akan semakin menyesal kalau nanti anak-anak kalian sudah lahir."

"Udah lah, gue enggak mau bahas dia. Gue dan Akash mungkin memang enggak jodoh."

Masih sambil berjalan memutari taman, Wulan merangkul pundak Gia dan mengusap guna mentransfer energi positif. "Kalau jodoh bakal balik lagi, kok."

Gia menggeleng. Tidak mau berharap. "Gue sama dia bersama cuma ditakdirkan untuk menciptakan kesalahan, bukan kebahagiaan."

"Hei, jangan gitu, dong. Bayi-bayi di dalam perut ntar protes kalau mereka dianggap ada karena kesalahan." Wulan berusaha menghibur. Sejak kehamilan ini, Gia tidak pernah sebahagia sebelumnya.

Gia mengelus lembut perutnya. "Mereka bukan kesalahan. Yang salah gue sama Akash."

*

"Mama..." Gia mengetuk pintu kamar ibunya.

Tidak ada sahutan sama sekali, namun Gia memilih langsung masuk. Didapatinya Adel sedang duduk merenung di sofa, Gia menghamipirinya dan ikut duduk.

"Ma," lembut Gia, menyentuh pundak Adel.

"Eh, kamu di sini," Adel tersentak cukup kaget. "Ada apa, Gia?"

"Mama kenapa melamun? Mikirin sesuatu? Atau sedang memikirkan Gia yang selalu nyusahin mama?"

Adel tersenyum manis, menutupi kesedihannya jauh lebih baik daripada membuat Gia ikut terbebani. "Mama lagi mikirin kantor, bukan hal besar. Dan ingat, kamu enggak pernah menyusahkan mama."

"Maaf, ya, ma..." lirih Gia tertunduk.

Adel mengangkat dagu Gia. "Princess, angkat kepalamu. Jangan biarkan mahkotamu jatuh, kamu berhak bahagia."

"Boleh, Gia minta satu permintaan?"

"Tentu, sayang."

Gia menghela napas sejenak, ia akan mengambil keputusan besar. "Ma, boleh Gia tinggal di Bali? Seenggaknya sampai Gia melahirkan. Gia ingin tenang."

"Mama rasa keputusan kamu tepat, tapi mama enggak bisa menemani, Gia. Mama enggak bisa melepaskan kamu sendirian di sana."

"Mama boleh minta satu asisten rumah tangga di sini untuk menemani Gia selama di Bali. Dia juga boleh pulang setiap sebulan sekali, gimana baiknya aja. Karena Gia enggak sanggup terus-menerus di sini, menanti entah apa yang Gia nantikan. Menunggu yang sebenarnya Gia juga enggak paham menunggu siapa."

Adel menangkup wajah Gia dengan kedua tangannya. Gia menelisik kedua manik anaknya. Ya, setelah insiden kehamilan ini, sorot mata Gia tidak pernah bahagia. Meski berkali-kali bibirnya mengatakan bahagia, namun matanya tidak bisa berdusta.

"Setelah Gia melahirkan, Gia akan pulang, ma. Karena saat itu tiba, Gia enggak akan sedih seperti ini lagi. Nanti akan ada dua manusia kecil yang pasti akan menjadi prioritas Gia." gadis itu menerawang membayangkan ucapannya.

Adel tersenyum, seakan ia sudah dapat merasakan kehadiran kedua cucunya. "Janji kamu akan bahagia di Bali?"

Mengangguk antusias, Gia menjawab dengan yakin. "Gia akan bahagia, ma."

Adel memeluk putri semata wayangnya. "Mama izinkan. Nanti mama juga akan minta seseorang untuk menemani kamu. Seadanya waktu luang, mama pasti akan menengok kamu di sana."

"Sesekali ajak Wulan juga, ya, ma. Ntar dia ngambek kalau enggak di ajak." canda Gia. Setidaknya hari ini dia sudah lega atas nama keinginannya yang terkabulkan dengan sangat mudah.

Adel terkekeh, menepuk pundak Gia. "Kamu masih sedikit menyebalkan ternyata."

Kekehan Adel menular pada Gia. Mereka melerai pelukan dan saling memandang. Adel menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Gia ke belakang telinga.

"Semangat, ya, sayang. Kebahgiaan sedang menanti kamu."

"Terima kasih, ma. Enggak ada kata yang bisa mendeskripsikan bagaimana hebatnya mama menjadi seorang ibu."

Mata Adel berkaca-kaca mendengar untaian kalimat dari Gia. Dulu anak itu sempat membencinya, tapi kini semua kembali seperti sedia kala. Adel memahami jiwa muda nan labil Gia sebab sebelum menjadi dewasa, ia juga pernah berada di posisi remaja.

"Nanti kalau anak-anak Gia lahir, mama mau dipanggil apa?"

Lagi, Adel terkekeh. "Ya ampun, mama ini masih cocok jadi kakak kamu, lho. Masa' harus dipanggil nenek." godanya.

Gia memandang wajah ibunya yang sangat mirip dengan wajahnya. Betul, Adel memang terlalu muda menjadi nenek. Bagaimana bisa menjadi nenek bahkan ketika usianya belum genak tiga puluh lima tahun, apa lagi menampilannya yang sangat modis dengan bentuk tubuh layaknya mahasiswa baru. Terkadang Gia berpikir, apa benar Adel ibu kandungnya.

"Ya, udah, nanti anak-anak Gia panggil mama dengan sebutan mama aja."

"Sama seperti kamu panggil mama, gitu?" Adel menautkan alisnya.

"Iya, kan nanti mereka lebih mirip seperti adik-adik Gia dibanding anak."

Adel menoel hidung Gia. "Huummm, ikut-ikut kamu."

Gia terbahak. Tapi memang seharusnya di usia Gia yang sekarang, ia memiliki seorang adik, bukan anak. Namun Tuhan terlalu berbaik hati dengan memberikan anak, sebanyak dua pula.

*

Regards,
Becca

22 Agustus 2020

Madre JovenWhere stories live. Discover now