9. Jumpa

872 42 0
                                    

Beberapa tahun kemudian...

Masih menetap di Bali, Gia hidup bahagia dengan kedua anaknya yang kini sudah berusia lima tahun. Gia bahkan tetap melanjutkan pendidikannya selama di sana. Setiap sebulan sekali, Adel dan Wulan selalu datang.

Bulan Amara Queena dan Bintang Amira Queena, anak kembar Gia bersama Akash. Akash... ah, Gia sudah lama tidak mendengar kabar pria itu. Bahkan Wulan juga sudah tidak tahu ke mana laki-laki tidak bertanggung jawab itu.

Usia Gia sudah dua puluh dua tahun, anak-anaknya pun sudah duduk di bangku TK. Demi menjadi orang berguna, Gia akan kembali ke kota tempatnya dilahirkan. Ia akan kuliah demi masa depannya.

"Bulan, Bintang," Gia memanggil kedua putri gembulnya.

"Iya, mamiiiiii..." jawab keduanya yang sedang bermain di ruang tamu.

"Ayo siap-siap, hari ini kita pulang ke rumah oma."

Gia dibantu dengan Eva—orang yang menemaninya selama di Bali—tengah bergegas mengeluarkan koper sebab taksi pesanan mereka sudah tiba.

"Ayo, nanti kita ketinggalan pesawat." ajak Gia menatap kedua anaknya yang sibuk dengan mainan masing-masing.

Setelah membujuk dengan penuh kehalusan, akhirnya kedua anak itu berhasil di masukkan ke dalam taksi. Kendaraan umum itu melaju dengan stabil menuju bandara.

"Mbak Eva, makasih, ya, sudah menemani Gia. Setelah ini, keputusan ada di tangan Mbak Eva. Gia bersyukur kalau mbak Eva masih mau ikut Gia, kalau enggak pun Gia hargai." ucap Gia pada Eva yang duduk di depan, sebelah driver.

Eva menoleh ke belakang sembari tersenyum. "Sama-sama, Gia. Saya masih butuh pekerjaan ini dan saya masih mau menemani si kembar, maka dari itu saya tetap akan ikut kamu."

Gia lega, setidaknya saat ia sibuk kuliah nanti, kedua anaknya dijaga oleh Eva.

*

Dua jam berada di dalam pesawat, rupanya anak-anak jetlag. Keduanya tertidur, maka Gia dan Eva bagi tugas membawa masing-masing satu anak ke dalam rumah. Adel dan Wulan bantu membawa masuk koper.

"Yeayyyyyy!! Akhirnya lo balik, si kembar juga di sini. Rame, gue happy!!" seru Wulan setelah Gia duduk di ruang keluarga.

Gia terkekeh. "Apaan, sih, lebay!!"

"Lo makin cantik, Gia. Makin dewasa dan semakin terlihat aura kebahagiaan."

"Setiap hari dikasih drama sama Bulan dan Bintang, gimana aku enggak bahagia."

Adel dan Wulan ikut terkekeh. Kedua anak Gia itu memang luar biasa aktifnya.

"Mamiiii..."

Menghela napas, baru saja Gia ingin beristirahat, namun salah satu dari mereka sudah rewel. Gia segera menghampiri ke kamar tamu—karena Gia terlalu lelah membawanya langsung ke kamar atas.

Ternyata Bintang yang menangis. Bintang memang dasarnya lebih manja daripada Bulan.

"Kenapa?" tanya Gia.

"Gendong!"

Gia tersenyum dan segera menggendong Bintang. Tubuh anak-anaknya gempal, sedangkan tubuh Gia semakin hari semakin kurus, kadang Gia tidak sanggup menggendong mereka.

"Main sama oma, ya? Biar Kakak Bulan nyenyak tidurnya."

Bintang tidak menjawab, namun semakin memeluk erat leher ibunya. Maka dari itu Gia menganggapnya setuju.

*

"Ini boneka aku, Bintang!!"

"Ini punya aku, Kakak Bulan!!"

"Aku!"

"Aku!"

"Aku!

"Aku!"

"STOP!!" tegas Wulan menengahi. "Aduh, keponakan-keponakan aunty yang cakep, lucu dan imut... Sabar, ya, enggak boleh berebut."

"Bintang ambil bonekaku, aunty!!"

"Sharing, oke?" Wulan membujuk si kakak.

"Enggak!" ketus Bulan. Ia merampas boneka dari adiknya dalam sekejap, membuat Bintang menangis.

"Haduhhh... Gimana ini?!" bingung Wulan. Padahal baru kali ini benar-benar menjaga kedua anak itu, namun kepalanya sudah ingin pecah.

"Au-nty..." lirih Bintang, meminta bantuan.

"Bulan, kasih pinjam bonekanya sebentar untuk Bintang, ya?"

Bulan mengangkat kepala dengan angkuh sambil memeluk boneka panda miliknya. "It's mine."

Wulan mengerutkan kening lalu bergumam pelan, "Astaga, ini mah Akash banget. Sombong!!"

Bintang semakin meraung, membuat  Wulan hampir gila. Ia menyesal mengiyakan Gia dan Adel berbelanja berdua.

"Jangan nangis terus!!" tukas Bulan pada adiknya.

Wulan segera menggendong Bintang dan mengusap lembut punggungnya agar berhenti menangis. "Sayang, besok kita beli boneka baru. Sekarang jangan nangis, ya..."

"Aku mau itu..." Bintang masih menunjuk boneka yang kakaknya peluk erat.

"Bulan..." Wulan memohon.

"Enggak. Ini punyaku, punya dia udah dibuang ke laut. Nanti dia buang punyaku."

"Enggak, sayang. Adik Bintang enggak akan buang boneka kamu."

"Enggak!!" pekik Bulan dengan garang.

Demi Tuhan, meskipun Wulan sering mengunjungi mereka tapi belum pernah Wulan melihat Bulan segalak ini. Benar-benar mirip Akash.

"Duh... Kamu berisik, Bintang." eluh Bulan, lalu ia melempar kasar bonekanya ke arah tubuh Bintang. "Untuk kamu, jangan nangis lagi."

Wulan semakin geleng kepala, benar-benar menjelma menjadi Akash anak itu.

"Sudah malam, kita ke kamar, yuk. Tunggu mami sama oma kalian di sana." tutur Wulan dengan lembut saat Bintang sudah berhasil ditaklukan.

"Gendong!" ujar Bulan semangat empat lima.

Dalam posisi masih menggendong Bintang, dia tidak yakin akan kuat menggendong keduanya. Namun Bulan langsung naik ke punggung Wulan.

"Ayo, aunty..." lembut Bintang.

"Aunty kayaknya enggak kuat, deh, sayang-sayangku." bujuk Wulan, berharap mereka paham.

"Mami aja kuat!" ketus Bulan.

"Oh, ya ampun... Pantesan aja mami kalian semakin kurus. Enggak sadar apa kalau kalian itu gendut?"

Bulan menurunkan tubuh—bahkan menjauhkan tubuhnya dari Wulan. "Dasar, lemah!!" cibirnya.

"Ya Tuhan... anak itu..." bisik Wulan bermonolog melihat punggung kecil itu menuju tangga.

Bintang terkekeh. Ya, kakaknya memang tidak selembut dirinya. Acap kali Bulan membuat siapa saja kesal.

*

Regards,
Becca

23 Agustus 2020

Madre JovenΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα