Kampus Putri.

173 33 13
                                    

Kalau percaya kita ada, berarti percaya Allah juga ada. Dan bila percaya Allah itu ada, berarti percaya ketentuan-Nya itu nyata (sudah digariskan begitu).

🌹🌹🌹


Talita melewati pelataran basecamp mapala. Ia menyukai tempat yang memang difasilitasi kampus khusus untuk kantor mapala. Di depannya terdapat bunga hujan yang di atasnya dibingkai dari bambu sehingga tanaman merambat pun dibuat seolah menjadi seperti kanopi, pohon dan dedaunannya yang membentuk pola seperti tudung hutan. Seperti hutan buatan yang minimalis. Di bawahnya kursi melingkar dari kayu jati tua dengan corak alami pohon hanya di atasnya dipahat membentuk tempat duduk. Talita menyukai suasana hutan dan kesejukan. Wajar bila ia suka berlama-lama di tempat itu sembari membuka literatur kuliahnya.

Bing duduk di depan Talita yang baru datang bersama Ceper, sebutan khas mapala untuk Ferdy.

"Hai, Ta," sapa Ceper.

Talita tersenyum, "Hai, Kak." Ia melanjutkan membaca literaturnya lagi.

Tak lama gawai Talita berbunyi. Adara menghubunginya. Seperti biasa, waktu senggang mereka habiskan untuk saling bertemu.

"Kau bisa ke sini, Adara?"

"......"

"Baiklah aku ke sana sekarang."

Di tengah sibuknya Talita menghubungi Adara, ia beranjak pergi dan mematikan sambungan teleponnya. Namun tangannya ditahan oleh Bing. Talita terkejut.

"Ada apa, Kak Bing?"

Bing menunjuk ke bawah meja. Talita mengangkat bahu tak mengerti.

"Sampah. Tolong jaga kebersihan. Bahkan di hutan pun, kami tak biasa membuang sampah sembarangan."

Talita melirik sampah makanannya tadi yang ia buang begitu saja, "Owh, maaf." Ia pun memungut dan membuangnya ke tong sampah yang ada di pinggir basecamp.

Gadis itu melanjutkan langkah menemui Adara. Kali ini ia berjanji bertemu di kafe.

Benar adanya Adara sudah menunggu dan bedanya, Fawaz juga ada di sana.

"Hai, Kak Fawaz," sapa Adara.

Fawaz tersenyum mengangguk. Lesung pipit di kedua pipinya terbentuk. Membuat manis raut wajahnya.

"Aku sudah menceritakan pengalamanmu selama di hutan pada Kak Fawaz," ujar Adara.

"Adara, untuk apa cerita? Sudahlah itu sudah berlalu." Talita merajuk.

Adara merasa tak enak, "Maaf, Talita. Aku hanya berniat cerita. Tak punya maksud apa-apa. Lagipula Kak Fawaz itu saudaraku, yang tidak akan cerita pada siapapun. Benar begitu kan, Kak?"

Fawaz hanya mengangguk, "Sesap teh manis ini saja, Adara, Talita, maka pikiran kalian akan santai." Fawaz membuka suara.

"Baiklah, tak apa. Aku hanya sangsi saat menceritakan hal itu, kalian akan berpikir macam-macam dan mengingatkanku soal kejadian malam mencekam itu. Apalagi ayah, Ayah Beta, dia sampai harus menanyakan keadaanku pada ahli tarot. Buat apa coba? Melelahkan. Dan sampai saat ini, Anina belum juga menemuiku dan menanyakan keadaanku karena dia tak berguna. Malam itu dia malah menyalahkanku karena ke hutan itu dan tahukah kalian? Kawanku yang tak terlihat itu malah meninggalkanku begitu saja. Mengatakan itu Hutan Bernoda, bla bla bla. Mengesalkan," cerocos Talita.

Putri MisteriWhere stories live. Discover now