"Dagang bubur." Jawab Gladis.

"Oh." Kata Kale singkat.

Gladis senang membuat wajah Kale berubah jadi datar, ketampanannya bertambah berkali-kali lipat.

"Senyum dulu dong!" pinta Gladis pada Kale, baru kembali bertemu sudah bisa sangat akrab. "Gue pindah sekolah di sini."

Alis Kale terangkat satu. "Diterima gitu?"

Saat Gladis akan menjawab tiba-tiba Johan datang, Johan adalah Ayah kandung Gladis yang berprofesi sebagai Dokter Spesialis Bedah Ortopedi. Gladis langsung mengadu pada Ayahnya itu. "Papi liat Anto udah gede udah bisa ngeledek aku juga." Ucap Gladis pada Ayahnya.

Kale langsung menunjukan cengiran kedua dan bersaliman pada Johan. "Lho, siapa ini Nak?" tanya Johan pada putrinya.

"Anaknya Papi Febrianto, Papi masa nggak kenal si? liat wajahnya nggak ada perubahan." Balas Gladis.

Kale menahan hasrat untuk menjitak Gladis. "Oh kamu anaknya? kami pindah kesini untuk adik kamu lho, Azil kan ya Abangnya Ica?"

Memang Johan datang keseini di perintahkan oleh Febrianto untuk menyembuhkan kaki Ica.

"Oh ya? wah seneng banget dong saya om." Jawab Kale dengan sopan.

"Senengkan karena ketemu gue?" tanya Gladis membuat Ayahnya terkekeh kecil.

"Anaknya sekolah di sini om, kebetulan banget ya." Kata Kale menghiraukan pertanyaan Gladis.

Johan mengangguk. "Iya, Gladis bilang kamu sekolah di sini, jadi dia enak punya temen yang udah kenal."

"Waduh, jadi siapa ni yang mau ketemu saya?" tanya Kale menyindir Gladis. Johan dan Kale terkekeh kecil sedangkan Gladis langsung memasang wajah datar.

Masih ada sisa waktu istirahat, Johan sibuk mengurus perpindahan berkas-berkas anaknya, sedangkan Gladia sendiri memilih mengobrol bersama Kale. Dari dulu Gladis memang sangat cantik tak salah kalau perubahannya tak jauh berbeda dari sewaktu kecil. Nama Anto sendiri Gladis dapat dari kutipan nama belakang Kale yaitu Febri'anto'. Mereka mengobrol di kantin tepatnya di kursi pojok.

"Gue seneng lo nggak banyak berubah." Ucap Gladis lebih dulu.

"Gue emang bukan power rangers." Jawab Kale. Gladis langsung mengacak rambut Kale.

Keduanya terdiam dan meminum lemon tea. "Makasih, dis." Ucap Kale tulus. Gladis langsung menoleh.

"Hah, buat apa? gue nggak mau ya bayarin minuman lo." Jawab Gladis membuat bola mata Kale berputar malas.

"Makasih udah mau datang kesini buat obati Ica." Kata Kale. Gladis tersenyum manis dan mengangguk.

"Lagian emang Papi nggak bisa kalau kerja jauh nggak ngeboyong keluarga. Dia masak mie aja nggak bisa, gimana mau jauh sama keluarga." Balas Gladis.

Sesampainya dalam kelas Jawa yang melihat Kale mengobrol akrab dengan gadis merasa kesal, apa dengan sangat mudah ia move on? sedangkan Jawa masih stak pada Najwa.

Epot sendiri tengah duduk sambil berpikir. "Mikirin apaaan lo?" tanya Jawa sinis.

"Biru tua sama biru muda umurnya beda berapa tahun si?" tanya Epot dengan wajah polosnya.

Jawa mengusap dadanya kesal sendiri. "Yaudah lah, lagian gue udah siap nerima gilanya dari awal."

Sore harinya Anya berjalan keluar rumah Sifa sendirian, sejujurnya ia ingin mencari pekerjaan apapun yang ia bisa asalkan halal, ia tak enak tiap hari biaya hidup dari Sifa.

KALE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang