Dua Kutub

106 6 0
                                    

Cast : Jimin (lokal)
University life, prejudice, rasa dalam negeri, switch pov
Words : 2.1 k
Written by : Hiraethskies

"Perhatian! Bagi yang kemaren relawan jadi aktor di drama hari Pancasila nanti kumpul di deket pohon kersen ya!"

Begitu pengumuman yang disampaikan ketua kelasku. Dia hanyalah penyampai pesan, mana sempat orang yang sibuk organisasi mau ikut serta dalam drama angkatan. Apalagi hanya untuk penilaian mata kuliah yang maaf 'hanya numpang lewat'.

Tapi aku heran dengan diriku sendiri. Entah kesambat apa, tiba-tiba aku mendaftarkan diri menjadi pemeran. Menyesal sih sedikit. Aku berpikiran untuk ikut hanya sekedar menambah pertemanan.

"Nilai gue jelek banget," kata aku lemah, menjatuhkan kepala ke atas meja.

Kelas baru saja bubar. Sepanjang kelas angka enam di pojok kanan kertas jawaban kuis, menghantuiku. Aku belajar semalam suntuk untuk kuis mingguan tapi hanya segitu yang kudapatkan?

Aku marah dan kecewa dengan diriku sendiri. Hanya terpeleset beberapa angka saat menyalin angka di kalkulator berakibat sangat fatal. Dan aku merasa bodoh.

Aku ingin segera pulang ke kosan, merenungi kebodohanku sendiri. Aku tidak mood untuk berlatih drama apapun atau bahkan berteman. Aku hanya ingin pulang.

"Ih santai aja, bapaknya kan ngambil empat nilai tertinggi," Dini, teman sebangku, menenangkan. Berbeda denganku, dia punya kecepatan pemahaman yang jauh kebih tinggi sehingga tidak perlu belajar banyak. "Lo abis ini drama kan?"

Aku mengangguk, mengiyakan. Di barisan kursi seberang kanan kami, seorang lelaki berjaket denim bangkit dari kursinya. Rambut cokelat keabuan miliknya ia singkap ke belakang. Dia memasang earphone sebelum pergi dari kelas.

Dia Jimin. Laki-laki yang sering kuperhatikan. Bukan karena aku suka. Dia memang tampan dan aku hanya sekedar mengagumi. Senyum manis, kulit kecokelatan, dan cara berpakaiannya yang oke, membuat siapapun pasti menaruh pandangan padanya.

Semenjak masuk kelas hanya dia yang sulit kudekati bahkab untuk berkenalan. Terlalu banyak orang yang mengenal dia. Sifat ramahnya membuat siapapun pasti menyapanya. Aku pernah disapa tapi hanya sekedar anggukan dan senyuman.

Aku dengar-dengar dia juga mendaftar jadi relawan drama. Aku tidak tahu apakah itu benar atau hanya kabar burung belaka.

"Lo mau langsung atau makan dulu?" tanya Dini. Kami memang biasanya suka nongkrong dulu di kantin sebelum pulang.

"Gue langsung aja deh. Takut telat. Gue duluan ya din!"

Aku pun keluar kelas, meninggalkan Dini yang langsung mencari gerombolan lain yang sering nongkrong di kantin juga. Namun langkahku terhenti di depan pintu. Lorong penuh dengan anak-anak kelas lain yang kelasnya juga baru selesai.

Di sisi kanan, ketua kelasku tengah berhenti dan berbincang dengan Jimin.

Aku dan Jimin saling beradu pandang. Dia langsung mengucapkan sesuatu ke ketua kelas dan berjalan ke arahku.

Oh sial.

Dia tidak mungkin menghampiriku kan? Maksudku, urusan apa Jimin denganku!?

"Lo drama juga kan?"

Pertanyaan itu langsung ia cetuskan begitu berada di sisiku.

"Apa?" tanyaku dengan nada lebih kencang. Bodoh. Bodoh. Aku bisa mendengarnya dengan jelas, namun aku masih berada di fase tidak percaya.

"Lo drama juga kan?" tanya Jimin ulang, sedikit menjorokkan tubuhnya ke arahku.

"Iya-iya!" jawabku, sedikit menjauh darinya.

𝐰𝐢𝐧𝐞 | 𝐛𝐚𝐧𝐠𝐭𝐰𝐢𝐜𝐞 ✔️Where stories live. Discover now