BAB 28

139 22 0
                                    

Sedari tadi, aku sibuk mengigit kuku-ku. Aku tidak tahu apa yang mau kubalas. Ayah sudah memergokiku! Clara.... Clara.... Hhhh... aku rasa omonganku dikabulkan oleh Allah. Mataku kini jadi rabun!

Bagaimana ini?

Niat hati untuk mengungkapkan perasaan ke Kak Anka, malah salah sambung ke ayah. Habislah aku!

Ponselku terus berdering bergantian. Kedua pria kesayanganku itu bergantian menelponku karena pesan yang tak kubalas. Rasanya ingin kubuang saja hp-ku itu.

Tokk... tok...

"Masuk, Sar!" Teriakku. Aku masih meratapi ponselku dengan rasa frustasi.

"Nak!" Secepat kilat, aku mengangkat kepalaku. Wajahku pucat saat ayah mendekatiku dengan ponselnya yang ia lambai-lambaikan ke arahku, "-kamu pelototin hp tapi gak jawab panggilan ayah!"

Aku menggaruk tengkukku. "Anu, Yah. Clara... Clara..."

Haduhhh... entah apa yang mau kukatakan. Aku kehabisan kata-kata! Mana bisa aku berkilah, jelas-jelas bukti sudah di depan mata! Hmmm.... Kenapa aku jadi seperti Peter yang tadi tak mampu berkata-kata, ya? Hanya gerogi dan pucat? Ahhh... ini pasti karma karena menertawainya dalam hati! Apes sekali aku hari ini!

Ayah duduk di depanku. Ia tersenyum. "Ra... bicara sama ayah."

Aku mengalihkan pandanganku ke atas langit-langit ruangakanku. "Sarah gak ada di depan, Yah? Tumben ayah mengetuk pintu?" Aku berusaha mengalihkan perhatiannya.

"Ra! Jangan alihkan pembicaraan."

Aku terdiam dan menunduk. Ya sudahlah! Aku akan pasrah saja, sudah tertangkap basah juga.

"Kamu suka sama Anka?" Tanya ayah sangat lembut. Aku mengangguk pelan, "-secepat itu?" Aku mengerti maksud ayah. Aku baru saja mengakhiri hubunganku dengan Peter. Tentu saja ayah akan merasa aneh karena aku menyukai Kak Anka secepat itu. Serta, secepat itu pula aku melupakan Peter yang telah menjalin hubungan denganku selama lima tahun lebih.

"Mungkin gak secepat itu, Yah. Mungkin.... Baru sadar?" Ujarku pelan dan masih menunduk.

Ayah menghembuskan nafasnya pelan. Ia bangkit dan mengitari meja kerjaku. Kini, sosok pahlawanku itu bersimpuh dihadapanku dengan tangannya yang menggenggam kedua tanganku. "Jadi... benaran suka?" Aku mengangguk yakin kali ini.

Ayah tersenyum. "Terus, bagaimana? Bukannya Anka berniat dijodohkan? Makanya ia pulang ke kampungnya?"

Aku mendengus kesal mengingatnya. "Maka dari itu... tapi Clara malah salah kirim pesannya."

Ayah mengernyit bingung. "Jadi, kamu berniat mengirimnya ke Kak Anka? Kamu mau mengungkapkan perasaanmu?" Pipiku merona seketika mengingat keberanianku itu.

"Hhh... iya, Yah."

Ayah tertawa kencang membuatku semakin malu.

"Keberanianmu pantas mendapatkan ancungan jempol! Ayah gak sangka! Kamu ingin mengungkapkannya agar Anka tidak jadi dijodohkan, begitu?" Aku mengangguk. Ayah menepuk kedua lututnya dan bangkit berdiri. "Ayo!" Ucap ayah mengulurkan tangannya padaku.

"Kemana?" Tanyaku heran, namun tetap menyambut tangannya.

"Ke kampung Kak Anka-mu. Ayah akan melamarnya untuk menjadi suami putri ayah. Tidak ada salahnya kan? Pihak perempuan melamar pihak laki-laki?"

Hah? Apa?!

Tapi—

❄❄❄

Saat aku dan ayah pulang ke rumah, bunda terlihat heran karena tak biasanya kami pulang secepat ini. Lantas, ayah langsung menjelaskan alasan kami pulang cepat. Mendengar penjelasan ayah, aku kembali merona dan sangat malu. Lain halnya dengan bunda. Bunda langsung heboh.

ConfusedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang