BAB 25

134 17 3
                                    

Anka tengah menyusun bajunya ke dalam koper. Ia melipat dengan rapi beberapa helai bajunya. Ia berjalan keluar kamar setelah menutup kopernya yang berukuran sedang. Anka melangkah menuju kamar ibunya yang juga melakukan hal yang sama dengannya beberapa detik yang lalu.

"Sudah selesai, Bu?" Tanyanya.

Ibu Inah menoleh sekejap. "Sudah, Nduk."

Anka mendekati ibunya, "Kok bajunya sedikit, Bu?"

"Kita kan gak lama-lama di kampung. Toh... baju ibu masih banyak ibu tinggalkan di kampung." Anka mengangguk setuju dan duduk di sisi ranjang milik ibunya.

"Nduk."

"Iya, Bu?"

"Nak Dea telpon ibu dua hari yang lalu. Apa benar kamu mau dijodohkan dengan Cecilia?" Tanya Bu Inah yang kini duduk di samping Anka.

Anka tersenyum. "Awalnya saja, Bu. Enggak, kok. Baik aku dan Ceci sudah bicara sama Bunda Dea kami tidak mau dijodohkan. Awalnya bunda tetap keukeh tapi setelah aku dan Ceci meyakinkannya, bunda akhirnya setuju."

Bu Inah tersenyum dan mengusap kepala putranya itu. "Begitu, ya."

Anka menatap ibunya lekat-lekat. "Bu... apa ibu masih berpikir kalau kita tidak pantas menjadi bagian dari keluarga mereka?" Tanyanya pelan.

Bu Inah terdiam dan menghela nafasnya pelan. "Dulu ibu berpikir seperi itu. Kamu tahu sendiri dulu ibu bekerja pada mereka. Ibu sangat bersyukur sekali bekerja dengan keluarga yang baik itu, di bawa keluar negeri pula. Dea juga sering kasih bonus. Itu membuat ibu sangat tak enak. Ditambah, mereka menyekolahkanmu pula, ibu bahagia dan segan. Banyak sekali beban yang ibu rasakan karena memiliki hutang budi pada mereka.

Tapi, ibu sadar kalau mereka bahkan menganggap kita keluarganya. Membiarkanmu memanggil mereka 'bunda'atau 'ayah'. Lalu, kenapa ibu merasa segan menganggap mereka seperti itu pula? Ehmm.. kenapa kamu bertanya seperti itu?"

Anka menggeleng pelan. "Gak apa-apa. Ibu sering sekali mengatakan hal itu, jadi aku bertanya saja. Syukurlah."

Bu Inah mengangguk.

"Ah ya... karena kita besok pulang, kenapa gak sekalian saja kamu cari jodoh, hm? Para gadis di desa kita 'kan terkenal cantik dan sopan? Bagaimana? Siapa tahu, saat kita kembali kesini lagi, kamu sudah bawa istri?" Tanya Bu Inah dengan senyuman yang merekah di bibirnya.

Anka terkekeh. "Insyaallah, Bu. Kita lihat nanti, ya. Ada yang cocok atau tidak."

Meskipun Anka masih berharap pada Clara karena tentu saja Clara pasti akan mengakhiri hubungannya dengan Peter. Tapi, apakah Clara bisa menerimanya secepat itu? Lima tahun pacaran, pasti akan sangat sulit bagi Clara untuk melupakan Peter. Bisa dibilang Peter adalah cinta pertamanya Clara bukan? Bukankah seluruh wanita di dunia ini sangat sulit melupakan cinta pertamanya yang sudah menjalin kasih selama lima tahun? Pasti butuh waktu yang sangat lama. Begitulah isi pikiran Anka saat ini. Padahal, lelaki itu tak tahu bahwa perasaan Clara sudah menyimpang untuknya. Bahwa Clara tidak merasakan apa-apa pada Peter.

Ya... Biasalah, manusia dengan segala macam pikiran negatifnya!

Anka tidak tahu nanti saat kembali ke negeri ini lagi ia akan masih menyandang status 'lajang'. Maka dari itu, ia memutuskan untuk menyempatkan pergi 'bermain' dengan Clara dulu, sebelum keberangkatannya. Ya, mereka juga hanya sekali dua kali jalan berdua saja.

Anka mengambil ponselnya dan membuka room chat-nya dengan Clara.

Anka: Ra?

Clara: Iya, Kak?

Anka: Besok sibuk?

Clara: Enggak, kok, 'kan libur. Kenapa, Kak?

Anka: Temani kakak ke Coney Islan, mau?

ConfusedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang