Bab 10

666 59 2
                                    

Aku sudah siap dengan gaun yang kubeli tadi siang bersama Kak Anka. Rambut sebahu kubiarkan tergerai. Polesan diwajah ku juga tidak tebal-tebal banget. Aku rasa penampilanku sudah sempurna.

Aku menatap pantulan diriku di cermin. Entah kenapa, aku malah mengingat Kak Anka. Omong-omong, setelah dia tidak sadar memujiku, dia mengucapkan kata 'maaf' yang terdengar aneh. Kenapa dia harus minta maaf setelah dia memujiku? Aku rasa itu tidak ada salahnya.

Aku mengalihkan pandanganku saat suara nada pesan terdengar dari hp-ku.

From: Peter

Aku udah di depan rumah kamu.

Dengan lincah, aku segera membalas pesannya untuk menungguku di depan gerbang saja. Aku tidak mau dia masuk dan membuat suasana rumah menjadi heboh. Maksudku, kalau dia bertemu dengan bunda, pasti bunda langsung menekan Peter untuk segera menikahiku.

Namun, pesanku tidak mendapat balasan dari Peter dan entah kenapa membuatku merasa cemas. Cepat-cepat aku mengambil heels T-Bar berwarna hitam.

Aku melangkah gusar menuruni anak tangga saat mendengar suara berbincang dari ruang tamu. Suara yang tak asing di telingaku itu tengah berbincang-bincang mengenai sesuatu.

Aku sedikit tersentak saat sampai di ruang tengah. Ayah dan bunda duduk berhadapan dengan Peter yang sudah rapi dengan balutan blazzer abu-abu dan kaus berwarna putih. Dia semakin terlihat tampan saat celana kain yang biasa dia kenakan bergganti dengan jins berwarna hitam. Tak sengaja mataku terfokus pada sesuatu di genggamannya.

Peter bangkit dari duduknya. Ia menyambutku dengan senyumannya. Aku mendekatinya secara perlahan.

"Malam, Sayang. Kamu kelihatan cantik," ujarnya sambil memberikan sebucket bunga yang dipegangnya tadi padaku. Bunga mawar putih kesukaanku.

"Terima kasih," balasku.

Aku melirik saat ada pergerakan di sebelahku. Bunda berdiri di sampingku. Dan mendekatkan mulutnya ke telingaku.

"Pacar kamu ganteng juga rupanya. Bunda bersyukur kalau kamu normal. Dan bunda harap kamu mau nikah sama dia." Sekiranya, itulah yang bunda bisikkan. Dan itu sangat terdengar aneh di telingaku.

Demi apapun, bunda baru saja bertemu dengannya dan kini ia mengharapkan Peter segera menikahiku? Yang benar saja!

"So, kalian tadi mau pergi kan? Ayo cepat sana! Pulangnya jangan malam-malam, ya. Anak gadis," ujar Bunda tiba-tiba.

Aku hanya geleng-geleng dan segera menyalimi ayah dan bunda, begitu pun Peter. Selepas itu, kami langsung berangkat menggunakan mobil Peter. Bunga yang ia berikan aku tinggal saja dirumah. Tidak mungkinkan aku bawa bunga sebesar itu?

"Gimana kerjaan kamu? Udah beres semua?" tanyaku saat mobil sudah melaju.

"Ehmmm... Kerjaan itu pasti gak bakal pernah beres kan? Tapi, yah... Udah agak mendingan. Gak menumpuk lagi. Makanya, hari ini aku ada waktu." Aku manggut-manggut.

Kurasakan sebuah tangan menggenggam punggung tanganku yang berada dalam pangkuanku. "Maaf, ya. Akhir-akhir ini aku jadi gak ada waktu buat kamu," ujarnya dengan nada menyesal. Matanya masih menatap ke arah jalanan.

Kubalas genggamannya dan kukecup sekilas punggung tangannya. "Gapapa, aku ngerti kok gimana sibuknya kamu. Aku kan juga kerja kantoran. Aku tau gimana rasanya dikejar deadline."

Peter menatapku sekilas. Lalu tersenyum dengan menawan.

"Makasih, sayang."

"Sama-sama, sayang."

ConfusedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang