6: Tawaran

86.2K 7.5K 78
                                    

Padahal, Divya hari ini ingin mengantarkan surat lamaran di beberapa tempat, tetapi tertunda karena kedatangan orang tua dari Raga. Meskipun sebenarnya Divya menyayangi kedua orang tua itu, tetapi sekarang ia merasa terganggu karena tanpa sengaja mereka menunda rencananya yang sudah matang.

Divya tidak semerta-merta mengatakan keinginannya untuk bekerja, itu bukan urusan mertuanya. Di sini ia bekerja bukan untuk melakukan hal bodoh, tetapi belajar mandiri.

“Mbak.” Raira memeluknya dari belakang.

Divya sedikit terkejut dengan perlakuan tiba-tiba itu. Ia menengok ke belakang, wajah adik iparnya benar-benar terlihat sangat bahagia.

“Kenapa?” tanyanya.

Menghentikan aktivitas memotong sayuran, ia memutar tubuh menghadap Raira. Alis terangkat karena penasaran dengan ekspresi perempuan itu.

“Aku ...,” Senyum Raira semakin mengembang, “dilamar Sammy!” seru perempuan itu.

Tentu saja Divya ikut bahagia mendengarkan kabar tersebut. Keduanya sudah lama berpacaran, hampir menyentuh enam tahun. Jika itu kredit mobil, pasti sudah lunas.

“Selamat,” ucap Divya, memeluk adik iparnya.

Sebagai seorang ipar, Divya memang sering menempatkan diri sebagai teman curhat Raira, bahkan sebelum menikah dengan Raga. Ia tahu bagaimana pasang surut hubungan Raira dan Sammy. Untuk sampai di sini adalah suatu pencapaian yang sangat berarti dan sulit.

“Udah kasih tahu ayah sama ibu?” Divya melerai pelukan mereka.

“Mbak yang pertama, nanti malam aku kasih tahu pas makan malam.”

Divya mengangguk setuju, karena itu waktu yang sangat pas, di mana seluruh anggota keluarga berkumpul untuk makan.

“Hari ini aku yang jemput keponakanku, Mbak diam aja di rumah.” Dengan semangat dan senyum mengembang, Raira meninggalkan dapur.

Divya hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan iparnya itu. Ia kembali melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda. Melihat senyum Raira tadi, Divya jadi ingat saat pertama kali dilamar oleh Raga. Senyum seperti itu ia berikan pada semua orang yang ditemui.

Namun, semua tidak seindah saat dilamar. Di hari itu ia merasakan sakit. Ingin ikhlas, tetapi sulit. Divya butuh waktu dan sesuatu untuk melupakan. Keputusan berpisah masih sangat kuat, Divya berniat mencari kerja dahulu, barulah menyiapkan segala keperluan untuk berpisah.

{{{

Kebahagiaan masih tergambar jelas di wajah Mega dan Ranto. Kendati ini bukan pernikahan pertama di keluarga mereka, tetapi tetap saja senyum itu terbit. Divya duduk sembari memangku Kayla yang malam ini ingin dikuncir. Ia melakukan permintaan anaknya itu, tetapi telinga fokus mendengarkan wejangan yang keluar dari mulut Mega untuk Raira.

“Papa, gambal cini,” ucap Raynar sembari memberikan buku gambar pada Raga yang baru saja ikut berkumpul di ruang keluarga.

“Raynar mau Papa gambar apa?” tanya Raga.

“Apel!” seru anak itu.

Sampai detik ini, Divya masih saja mendiamkan Raga. Tidak ada keinginan untuk mengajak mengobrol, meski pria itu berusaha untuk berbicara dengannya. Getar ponsel membuat Divya menengok. Itu berasal dari ponsel Raga.

“Papa angkat telepon dulu,” ucap pria itu kepada Raynar sebelum beranjak.

“Emangnya kenapa kalau diangkat di sini?” Suara berat menyela.

Divya menoleh pada Ranto yang menatap Raga penuh kecurigaan. Selama kejadian ini, ayah mertuanya terus mengawasi sang suami. Sedangkan Mega berusaha untuk membuat Divya mau berbicara dengan Raga.

“Entar ganggu, Yah,” balas Raga.  

Ranto mengambil remote dan mematikan TV. “Udah tenang, kamu nggak bakal keganggu.”

Suasana tegang itu ternyata tersampaikan pada Kayla dan Raynar yang langsung diam tak berkutik. Raga menghela napas panjang, kemudian mengangkat telepon tersebut tanpa beranjak dari sofa yang diduduki. Tidak ada yang perlu dicurigai selama Raga berbicara dengan orang di seberang sana, karena pembahasan tidak lepas dari pekerjaan.

Ngomong-ngomong, seharian ini Divya tidak melihat kegalauan Raga di saat Aminah pindah ke Kalimantan. Namun, bukan berarti Divya percaya bahwa pria itu tidak lagi berhubungan dengan Aminah. Mungkin saja mereka sudah saling mengabari tanpa sepengetahuan.

“Yah, aku udah menyesal, nggak perlu dicurigai lagi,” ucap Raga setelah menutup telepon.

“Kalau kamu lakuin sekali, itu bisa dimaafkan. Dua kali, mana ada yang percaya lagi. Bahkan istri kamu yang tahu kamu luar dalam, udah nggak punya rasa percaya.” Ranto membalas ucapan sang putra.

Suasana menjadi hening, Raira yang tadi terus mengoceh karena bahagia, Mega yang memberikan wejangan pada sang putri, kini hanya tersisa keheningan. Sebagai seseorang yang dibawa dalam percakapan, Divya hanya bisa membuang pandangan ke tempat lain.

Getaran di ponselnya membuat ia tersentak kaget. Dengan sopan Divya meminta izin untuk menjauh dan mengangkat telepon tersebut. Ayah mertuanya langsung mengangguk mengizinkan.

Divya menuju teras rumah, kemudian mengangkat telepon tersebut. “Halo?” sapanya pada seseorang di seberang sana.

“Div, gue udah dapet kerjaan bagus buat lo.” Tanpa membalas sapaan, Alena segera mengatakan hal tersebut.

“Serius?” Senyum Divya mengembang.

“Kerjanya jadi kasir di toko kue, kebetulan owner-nya gue kenal. Gue bilang lo cuma punya waktu pagi sampai sore, dan dia iyain.”

“Terus? Gue harus gimana, Al?” tanya Divya, bingung karena sangking bahagia.

“Besok lo ke rumah gue dulu, entar gue anterin ke toko itu.”

“Sip, sip,” ujar Divya.

“Ya udah, lo cepat tidur, biar besok nggak telat bangun.”

“Makasih, ya, Al.” Divya tulus mengatakan itu.

“Iya, sama-sama.”

Sambungan terputus, tetapi senyum Divya belum juga sirna. Membayangkan dirinya tidak akan bergantung lagi pada Raga, membuat bayangan masa depan begitu jelas terlihat. Divya memutar tumit, berniat untuk kembali masuk ke rumah. Namun, langkah terhenti karena kehadiran pria itu.           

“Dari siapa?” tanya Raga.

Divya tidak menjawab, malah kembali melangkah dan melewati sang suami. Tadi ia tidak ingin tahu dengan siapa Raga bertelepon, maka sudah seharusnya Raga pun tidak ingin tahu tentangnya.

“Kalau suami nanya, harus dijawab.” Nada suara Raga terdengar sewot.

Terkekeh, Divya terus melangkah menuju tangga, di mana ia harus melewati ruang keluarga.           

“Suami yang gimana dulu, yang harus dijawab pertanyaannya,” timpal Divya sembari membawa Raynar dalam gendongan.

Anak itu nampak terkejut karena tiba-tiba diangkat oleh sang mama. Sedangkan kepada Kayla, Divya memberikan kode untuk ikut dengannya ke kamar.

“Anak-anak tidur dulu, udah jam segini.” Divya mengucapkan itu dengan santai pada mertuanya.     

“Ya udah. Ini biar aku yang rapiin, Mbak,” ucap Raira.

Divya menghela napas melihat kekacauan yang dilakukan Raynar. “Makasih, Ra.”

{{{

Vote dan komeeeernnn

Lo Selingkuh, Gue Balas! ✓ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang