Love Cuisine [END]

10.3K 489 27
                                    

Six years later

"Mom, aku akan ikut travel bersama Aunt Claire ke New York."

Bocah itu tidak memperdulikan bagaimana ekspresi ibunya ketika ia baru saja mengatakan kalimat itu. Karena ia tahu betul alasannya mengapa, meskipun ia masih kecil tapi ia dapat menyimpulkan situasi mereka dengan baik mengingat bagaimana cara ibunya membesarkan dirinya.

"Please honey, jangan lagi." Wanita itu sudah kehabisan alasan untuk melarang bocah itu, bahkan sejak berusia empat tahun anaknya itu mulai merengek untuk terbang kesana.

Sebenarnya ini salahnya juga, karena ia selalu menceritakan tentang ayahnya yang tidak pernah anaknya kenal. Tapi sekarang berbeda, dulu ia masih berharap jika pria itu menjemputnya bahkan setelah bertahun-tahun menunggu tapi itu berubah setelah dua tahun lalu anaknya hampir saja meregang nyawa karena demam tinggi.

Ketika itu ia begitu frustasi berharap pria itu datang tiba-tiba dan berdiri di depannya. Tapi harapan hanya tinggal harapan ketika ia hanya menangis sepi di lorong ruangan menunggu anaknya melalui proses gawat darurat.

Ia sendirian.

Setelah itu, ia berusaha tidak mengungkit keberadaan sosok ayah itu tetapi kebiasaan mereka membahas pria itu sejak kecil masih melekat pada Ian anaknya hingga sekarang bocah itu terus memintanya.

"Ian, aunt Claire ke sana untuk bekerja bukan bermain dan dia tidak akan memiliki waktu menjagamu." Ia mencari-cari alasan.

"I can do it on my own mom. Aku sudah besar." Ian memang sedikit berbeda dari anak lainnya, ia lebih dewasa dan lebih berpikir jauh dari anak seumurannya.

Coco melepaskan apron miliknya, meskipun ia sedang sibuk membuat makanan untuk pelanggan mereka, ia tetap harus berbicara dengan baik pada anaknya.

"Brenda, bisakah kamu menggantikan aku sebentar?" Ia meminta tolong pada rekan kerjanya yang kosong dan tentu saja mereka tidak menolak.

*

Ia duduk melipat tangan didepan dada saling berhadapan pada buah hatinya yang entah sejak kapan sudah sebesar itu karena seingatnya Ian masih sering duduk di pangkuannya. Ia semakin was-was melihat bagaimana tingkat kemiripan bocah itu dengan ayahnya sangat persis, bahkan Ian sama sekali tidak mengambil kemiripan darinya sebanyak itu.

"Ian, aku tahu kamu pasti ingin bertemu tapi sekarang sudah saatnya untuk kita melupakannya, ok. Biarkan ayahmu hidup dengan hidupnya sendiri begitu juga kita."

Ia menunduk.

"Aku hanya ingin bertanya mom." Bisiknya pelan.

"Bertanya apa?"

"Kenapa dad tidak menjemputmu? Kenapa dad membiarkan mom bekerja keras sendirian." Ucapnya sedikit bergetar.

"Oh, my love." Coco terperanjat kemudian beranjak mendekati putranya itu dan memeluknya erat.

Sungguh ia tidak tahu jika Ian berpikir demikian.

"I'm okay, we are okay hanya dengan seperti ini. Jika Daddy tidak menjemput itu pasti karena dia memiliki alasan. Kita baik-baik saja seperti ini honey, jadi jangan khawatir dengan mom." Ia membujuk anaknya itu.

Jujur saja, alasan kenapa ia takut membiarkan Ian bertemu dengan Abraham adalah ketika ia mengingat perkataan pria itu jika mereka berpisah.

Ia takut jika Abraham mengambil Ian dan membuat dirinya sendirian lagi.

Ia takut.

Untuk itu ia tidak akan pernah membiarkan Ian pergi ke sana, tidak selama ia masih hidup.

***

Love Cuisine [END]Место, где живут истории. Откройте их для себя