Love Cuisine [24]

3.5K 379 5
                                    

Coco berdiri didepan cermin besar kamar mandi setelah ia menyelesaikan hajatnya pagi ini, ia baru saja bangun karena dari kemarin ia tidak bisa memejamkan mata dari dini hari hingga pukul lima pagi dikarenakan menemani Ian yang tidak mau memejamkan mata barang sekalipun.

Matanya yang sipit tertimbun lemak semakin terlihat mengenaskan mengingat jam tidurnya yang tidak sampai empat jam. Ia juga memperhatikan body nya yang setiap hari semakin bongsor saja jangan salahkan Coco karena ia baru saja melahirkan meski sudah hampir sebulan berlalu.

Iya, sebulan.

Sebulan sudah lamanya ia mendekam di penthouse pria itu dan tidak pernah menginjak kakinya keluar sama sekali. Abraham tidak melarangnya percayalah pria itu tidak seburuk itu tetapi Coco yang tidak memiliki keberanian dan rasa percaya diri yang cukup untuk keluar dan menunjukkan dirinya.

Semakin ia perhatikan refleksinya semakin ia merasa benar-benar terlihat lebih besar, Coco tidak berani menimbang berat badannya ia takut jika ia semakin terpukul melihat kenyataan, untuk sekarang saja ketika melihat refleksi tubuhnya itu ia hanya bisa menarik nafas frustasi.

Belum lagi Stretch Mark di perutnya yang membuat Coco semakin resah.

Ia tidak tahu mengapa rasa percaya dirinya belakangan semakin menurun, sebenarnya perasaan itu sudah ada sejak ia hamil dulu tapi rasanya insecure nya itu semakin memburuk belakangan. Coco merasa jika ia sangat butuh waktu santai tapi ia tidak mampu mendapatkannya untuk sekarang mengingat jika ia harus kehilangan banyak waktu demi Ian, buah hatinya.

Sungguh ia tidak bermaksud menyalahkan bayi yang setiap hari semakin berisi itu tapi ia hanya butuh waktu tidur, Abraham tidak membantu sama sekali.

Bukan karena tidak peduli.

Pria itu sangat amat sibuk, ia jarang bertemu dengannya dan jika pria itu ada Abraham hanya menghabiskan waktunya untuk Ian, ia tahu jika Abraham menyayangi bayi itu.

Coco sempat berpikir jika Abraham mulai menganggap dirinya orang asing dan menghindar, ia tidak menyalahkannya karena bukankah itu yang mereka mau? Yang Coco mau?

Dan setiap kali ia berpapasan dengan Abraham di ruang tamu, pria itu tidak pernah berbicara basa-basi lagi, Coco merasa kesepian. Inilah alasannya kenapa ia tidak mau tinggal bersama pria itu lagi. Coco akan banyak berharap dan kecewa di waktu yang bersamaan.

Merasa cukup mengasihani tubuhnya ia membasuh mukanya dan segera menyusul Ian yang sudah memanggil dengan rengekannya yang belakangan cukup terasa memekik telinga.

Entah kenapa rasanya ia ingin tidak ingin mendengar tangisan itu, meski hanya lima menit dan ketika pemikiran itu muncul di kepalanya Coco langsung terdiam di depan cermin dan melanjutkan menatap dirinya.

Ia menatap lamat-lamat wajahnya yang terlihat sangar jika tidak tersenyum, melihat bentuk bibirnya yang selalu terlihat seperti orang marah.

Padahal dia hanya gemuk.

Bukan jahat.

Banyak melamun akhirnya ia memilih keluar berniat mendiamkan Ian yang kini sudah tidak merengek lagi. Sebegitu lamanya kah ia melamun?

"Apa yang kamu lakukan disana hingga tidak mendengar Ian menangis menjerit begini?!"

Baru saja ia membuka pintu kamar mandi, Abraham langsung menyemburnya dengan intonasi marah. Wajah pria itu terlihat benar-benar buruk.

"Aku tertidur di kamar mandi." Coco sedikit merasa bersalah dan memilih berbohong.

Abraham tidak menjawab lagi ia kembali menyibukkan dirinya menenangkan Ian yang masih berlinangan air mata. Ingin rasanya Coco menarik bayi itu tapi rasa bersalah karena mengabaikan Ian membuat dirinya enggan.

Love Cuisine [END]Where stories live. Discover now