Thirty One

14.8K 2.9K 265
                                    

"Pacar? Apa itu pacar?" Ara menatap Arka bingung. Pandangannya beralih ke arah setangkai bunga yang pemuda itu sodorkan kepadanya. Maksudnya apa? Ara sama sekali tidak paham. Bisakah pemuda itu mengatakan dengan sejelas-jelasnya? Perlu diingat kalau Ara ini bukan makhluk bumi. Jadi, istilah-istilah seperti itu tentu dirinya tidak mengetahui.

Arka sempat terbengong. Otaknya mendadak lemot melihat respon Ara yang seperti itu. Ia sempat menduga kalau Ara hanya berpura-pura. Namun melihat mata gadis itu yang menatapnya bingung membuat Arka mengakui kalau Ara benar-benar tidak tahu apa itu 'pacar'.

"Lo ... nggak tahu, Ra?" tanya Arka memastikan.

Ara menggelengkan kepalanya membuat lutut Arka terasa lemas saat itu juga. Usahanya menyiapkan ini semua terasa sia-sia. Arka meneguk ludahnya yang mendadak terasa pahit. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

"Pacar apa? Makanan?" beo Ara masih tidak paham. Gadis polos itu mengerjapkan matanya lucu. Menandakan kalau dirinya benar-benar tak paham dengan maksud dan tujuan Arka.

Arka memaksakan senyuman lalu menggelengkan kepalanya. Sudahlah, nasi telah menjadi bubur. Ara saja tidak tahu apa arti pacaran, bagaimana keduanya bisa menjalin hubungan?

"Nggak apa-apa." Arka melepas jaketnya lalu menyampirkan di kedua bahu Ara. Gadis itu benar-benar mengobrak-abrik perasaannya. Sedih? Tentu. Kecewa? Jangan ditanya. Namun, Arka bisa apa selain menerima semuanya? Mungkin suatu hari nanti ia akan mencobanya lagi.

"Kita pulang, yuk. Udah malam," ujar Arka lalu menggenggam tangan Ara menuju ke mobilnya.

"Mengapa tanganmu terasa begitu dingin? Mau mati?" tanyanya dengan lugu.

Ingin rasanya Arka mengatakan kalau dia seperti ini karena ulah Ara yang telah berhasil membuatnya jatuh cinta. Tapi Arka tidak ingin mengatakannya lagi saat ini. Percuma saja, Ara juga tidak paham apa maksudnya.

"Dingin, Ra," ujarnya berbohong.

Ara hanya ber'oh'ria sebagai jawaban.

Matanya mengedar untuk menatap kembali taman yang sangat indah itu. Lampu-lampu yang kerlap-kerlip membuat Ara terkagum. 

"Siapa yang sudah menghias taman menjadi seindah ini?" tanya Ara dengan seulas senyuman yang menandakan kalau dirinya suka melihat taman yang dipijaknya.

Arka menertawakan dirinya sendiri. Bahkan Ara tidak tahu kalau ini semua adalah hasil kerja keras Arka. Sepulang sekolah pemuda itu langsung disibukkan dengan dekorasi taman. Pemuda itu membuatnya sampai sedemikian rupa hanya untuk Ara.

"Nggak tahu," balas Arka tidak ingin mengatakan yang sebenarnya.

Ara menatap kecewa. "Yah, sayang sekali," balasnya. Gadis itu ingin berterima kasih kepada orang yang telah membuat hiasan taman sampai secantik ini. Tatapannya beralih kepada setangkai bunga yang berada di tangannya yang bebas dari genggaman Arka.

Andai saja gadis itu paham kalau Arka baru saja menyatakan cinta kepadanya.

****

Di bawah gelapnya langit malam, seorang pemuda yang sedari tadi hanya duduk di atas rerumputan dengan pandangan kosong ke depan tengah mencoba menenangkan perasaannya yang kacau. Pandangannya mendongak. Menatap langit mendung yang seolah mengambarkan suasana hatinya saat ini.

Pangeran tidak tahu mengapa ia bisa seperti ini. Bukannya dirinya membenci Ara? Mengapa ia justru merasa kecewa? Atau lebih tepatnya merasa cemburu.

Tangannya mengacak rambutnya kesal lalu memukul keras tanah tak bersalah itu. Sedetik kemudian dirinya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin menyukai Ara 'kan? Lantas kenapa Pangeran merasa terluka?

"Gue kenapa?" lirihnya.

Tiba-tiba saja, pikiranya melayang saat-saat dimana Ara mengganggunya, membuat kesal dirinya, dan tingkah-tingkah konyolnya yang selalu mencuri perhatiannya.

Hingga tiba di suatu hari, dimana untuk pertama kali dalam hidupnya, Pangeran mencium seorang gadis. Ara benar-benar berhasil membuat dirinya kacau seperti ini.

Helaan napas kasar keluar dari mulut Pangeran. Ia mencoba untuk 'biasa saja'. Namun entah mengapa terasa sangat sulit baginya. Pangeran tidak pernah mengira kalau dirinya akan mengalami periode SadBoy seperti ini.

Ara, Arka, dan dirinya. Pangeran tertawa miris. Lucu, ya, menyukai seseorang yang sama dengan sahabat dari kecilnya.

"Gue ... harus gimana?"

****

Ara tersenyum lebar ke arah Arka seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya. Gadis itu tidak tahu kalau hati Arka kratak-kratak dibuatnya. Bahkan, gadis itu sempat melakukan kiss bye kepadanya. Tindakannya yang kekanak-kanakan itulah yang membuat daya tarik sendiri dalam diri Ara.

Arka hanya bisa membalas senyuman polos gadis itu. Setelahnya, Arka kembali melajukan mobilnya. Beberapa kali pemuda itu memukul stir mobilnya. Mencoba melampiaskan emosi yang dirinya tahan. Arka kecewa kepada dirinya sendiri.

Ada perasaan tidak terima dalam hatinya. Namun, makhluk seperti Ara tidak bisa disalahkan. Gadis itu tidak tahu dengan maksud dari kata-katanya. Salahkan saja Arka yang terlalu cepat mengungkapkan cintanya.

Pemuda itu memberhentikan mobilnya ketika sampai di sebuah tanah lapang. Arka keluar dari mobilnya lalu berdiri di tengah-tengah lapangan. Ia merentangkan kedua tangannya dan menghirup napas dalam. Seumur hidupnya, Arka belum pernah terjebak perasaan dengan seorang gadis seperti saat ini.

"Ara ... gue suka sama lo," ujarnya terdengar lirih.

Ara tidak menyadari kalau dirinya sudah membuat perasaan dua orang pemuda yang menjalin persahabatan itu kacau balau karenanya. Malam ini menjadi malam yang paling bersejarah. Dimana dua pemuda yang sebelumnya tidak tersentuh, merasa kecewa karena cinta.

Pangeran dan Arka. Sama-sama merenung di gelapnya malam yang sunyi. Meratapi perasaan yang menggebu di benak keduanya hanya karena seorang Ara yang memilik tingkah konyol dan uniknya yang membuatnya mendapatkan tempat spesial di hati keduanya.

****

Pihak yang menjadi biang masalah kini tengah meminum susu coklat buatan Tante Riri yang menjadi kesukaannya. Sebenarnya, seluruh minuman buatan manusia juga dirinya sukai. Ara sudah sering mengatakan kalau makanan di bumi benar-benar lezat.

Gadis itu meletakkan kedua kakinya di atas meja sembari meminum susunya. Ditemani setoples cookies buatan Tante Riri juga. Menjadi Ara memang sebuah keberuntungan. Dikelilingi banyak cogan, traveling sampai ke luar dunianya, dan berbuat apa pun sesukanya.

Ara menaruh gelas di atas meja. Tangannya beralih mengambil setangkai bunga yang diberikan Arka kepadanya. Jujur, Ara tidak paham apa maksudnya. Gadis itu mengamati bunganya lamat-lamat. Dan tanpa sengaja ia mematahkan tangkai bunga itu.

Ara mengedikkan bahunya lalu membuang bunganya ke tempat sampah. Arka akan menangis melihat ini. Kerja kerasnya seolah-olah tidak dihargai.

"Ngantuk," gumam Ara pelan. Ia merebahkan tubuhnya di sofa lalu memandang langit-langit ruang tamu Tante Riri.

"Pacar itu apa sebenarnya?" Ara masih kepikiran soal tadi. Karena sudah sangat mengantuk, Ara akhirnya tertidur dengan nyenyak. Dirinya tidak tahu kalau dua pemuda tampan yang sedang menelan kekecewaan itu tengah memikirkan dirinya.

Dasar kurang ajar.

****

_1005 kata_

_1005 kata_

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Putri Dingin (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang