Aku berdecak. "Gombal mulu. Udah sana pergi!"

"Ya tapi itu helm lepas dulu kali. Salting boleh, tapi nggak sampai lupa buka helm, dong!" ledeknya yang membuat pipiku memanas.

Aku pun melepaskan helm di kepalaku dan memberikan benda bulat itu padanya. "Bye!"

"Calon istri durjana. Salim dulu, kek!" gerutunya yang masih bisa kudengar meski aku sudah meninggalkannya beberapa langkah.

Diam-diam aku menyimpan senyum. Kejadian-kejadian seperti ini jelas tidak pernah ada di bayanganku sebelumnya. Pacaran dengan seorang guru di sekolah dan backstreet seperti ini.

"Duluan ya, Cantik!" ejek laki-laki itu ketika dia dan motornya berjalan mendahuluiku. Aku hanya menjulurkan lidah yang membuat dia tertawa.

Punggung laki-laki itu semakin terlihat menjauh, membuat kehampaan segera menyergapku. Tidak bisa kupungkiri bahwa bersamanya selalu menciptakan rasa hangat tersendiri. Entah karena guyonan atau gombalan-gombalan recehnya, yang jelas itu bisa menjadi hal yang kurindukan saat sedang tidak bersamanya.

Wah, Rafka gila! Sebegininya efek yang dia berikan padaku.

Setelah berjalan dua ratus meter jauhnya, aku akhirnya tiba di sekolah. Ini cukup menguras banyak keringat, terlebih aku memakai jaket tebal yang rasa-rasanya sangat tidak pas untuk matahari yang begitu terik pagi ini. Aku pun melepas jaket serta masker, dan tanpa sengaja mataku bertubrukan dengan pemilik punggung yang belum sepuluh menit ini memujiku dengan panggilan cantik.

Lagi-lagi aku harus melihatnya dengan perempuan yang harus kuakui lebih cantik dariku itu. Aku memutuskan untuk menyampirkan jaket pada tali ranselku dan terus berjalan sambil berusaha mengabaikan pemandangan itu.

Aku berjalan dengan kepala sedikit tertunduk, menghindari melihat mereka yang tampaknya semakin seru dalam obrolan. Perlahan suara mereka semakin terdengar, aku bisa mendengar laki-laki itu tertawa dengan Bela yang menjadi penyebabnya. Tawa yang sama saat aku menjulurkan lidah padanya tadi.

Peganganku pada tali tas semakin erat. Dan tepat, saat aku mendongakkan kepala, kedua mata kami bertemu. Dia tampak terkejut melihat wajahku yang pias. Namun tidak sampai lima detik kami bertatapan, tubuhku oleng. Seseorang merangkulku tiba-tiba. Saat kepalaku menoleh ke samping, cengiran lebar setengah dungu milik seseorang langsung tertangkap mataku.

Alibaba. Dia datang di waktu yang tepat.

"Selamat pagi, Pemilik seribu kecantikan," sapanya membuatku mual.

Tapi tak urung aku tersenyum juga. "Kenapa harus seribu?"

"Karena Alfy dalam bahasa Arab artinya seribu," jawab Ali.

"Terus cantiknya?"

Ali mengendikkan bahu. "Ngarang aja. Ya kan nggak mungkin kalau gue panggil lo pemilik seribu kontrakan."

Aku tertawa karena keabsurdan cowok itu. Kami pun akhirnya berjalan berdampingan. Aku bahkan melupakan sosok Pak Rafka yang terakhir kali kulihat tengah menatap datar ke arahku.

"Tumben lo nggak telat," ucapku yang merasa heran karena biasanya Ali selalu menjadi teman setia tiang bendera akibat hukuman yang didapatnya setiap hari.

Ali tampak ikut keheranan. "Iya, ya? Tumben banget. Gue rasa nggak lama lagi matahari terbit dari barat deh, Al. Lihat gue yang nggak telat dateng ke sekolah hampir sama mustahilnya dengan lihat sungai eufrat jadi emas."

"Sembarangan banget lo kalau ngomong, Malih!"

Ali hanya cengengesan seperti kebiasaannya. Saat sedang seru-serunya kami mengobrol, rangkulan Ali tiba-tiba terlepas, membuat kami sontak menoleh ke belakang. Dan menatap pelaku yang barusan menarik paksa tangan Ali menjauh.

IneffableWhere stories live. Discover now