"Sorry, gelasnya licin." Vanta meminta maaf datar tanpa rasa menyesal.

Kesengajaannya jelas terbaca oleh lelaki itu. Ia beranjak dari kursinya dan membelalak. Teman-temannya menoleh ke arahnya dan Vanta.

"Lo sengaja ?!" bentaknya.

Setelah bentakkan Alvin, kini bukan hanya teman-temannya saja yang melihat mereka. Semua mata yang ada di sana memandang. Dalam sekejap Vanta dan Alvin menjadi tontonan. Jessi yang ada di bangkunya terkejut. Dalam waktu seketika sobatnya sudah jadi 'artis dadakan'.

"Astaga Tata! Ni anak ngapain?!" pekik Jessi cemas.

Jessi biasa memanggil Vanta dengan panggilan Tata. Karena nama panjangnya Vanta Lollyta, jadi Jessi mengambil nama panggilan itu dari setiap suku kata di belakang nama Vanta.

Gadis cantik itu panik bukan main menemukan pemandangan yang dilihatnya. Temannya sedang dalam masalah. Cowok gendut yang telah kembali membawa semangkuk bakso itu gemetar mendengar bentakkan si pembuat onar.

"Kan tadi gue udah bilang kalo gue nggak se-nga-ja," ucap Vanta menekankan kata 'sengaja'.

"Berani banget lo! Anak jurusan mana sih?" Cowok itu menatap gadis di depannya dengan geram.

"Bukan urusan lo. Dan, gue udah bilang nggak sengaja." Lagi-lagi nada cuek yang dilontarkannya.

Mendengar kata-kata Vanta barusan, Alvin semakin yakin kalau tindakan gadis di depannya ini memang jelas disengaja.

Sialan ni cewek! Batin Alvin marah.

Pandangannya beralih seorang perempuan berjalan dengan tergesa ke arahnya, dan menarik cewek yang tadi mencari masalah dengannya.

"Ta, keluar yuk. Udah...," bujuk cewek itu sambil menarik lengan gadis yang mengenakan kemeja abu-abu bergaris.

Sebelum keluar dihampirinya cowok gendut yang tengah berdiri ketakutan sambil memegang semangkuk bakso. Vanta merebut mangkuk bakso itu dari tangannya. Kemudian meletakkannya di meja lelaki sombong tadi dengan sentakkan keras hingga memunculkan suara benturan.

"Makan tuh sekalian sama mangkoknya!" serunya, sembari balas menantang sorot tajam lelaki yang masih berdiri di sana dengan kemeja basah.

Sementara Alvin, si pembuat onar, mengikuti kepergian cewek spontan itu dengan pandangannya. Akan dia ingat wajah perempuan yang telah mempermalukannya di antara banyak orang yang ada di kantin.

Gue harus bikin perhitungan sama tu cewek!

Batin Alvin geram.

"Siapa sih tu cewek?! Elo-elo pada ada yang tau, nggak?" tanya Alvin pada temannya yang menggerombol didekatnya sambil mengelap wajah dengan tisu.

Masih dengan wajah terpana, salah satu temannya, Edo, menjawab, "Nggak tau gue."

Karena jarang banget dia melihat pemandangan kayak gini, nggak pernah malah. Siapa sih yang berani cari masalah dengan Alvin?

"Gue juga baru lihat," sambung Andre.

Toto salah satu teman Alvin berusaha mengingat, kemudian ia mengeluarkan suara, "Kayaknya anak semester satu, deh."

"Masih semester satu?" Sebelah alis Alvin terangkat. Tidak percaya. "Baru semester satu aja udah belagu banget."

"Sabar Vin, sabar..." Andre menepuk pundak Alvin dengan wajah sok prihatin.

"Tapi gue belum tau jurusannya. Kalo dia ada di kantin sini, berarti masih seputar FTDK," sahut Toto setelah tertawa pelan melihat wajah konyol Andre.

FTDK adalah kepanjangan dari Fakultas Teknologi, Desain dan Komunikasi. Karena gedung di kampus itu dikelompokan berdasarkan fakultas.

"Kalo gitu coba lo cari tau. Gila aja gue dibikin malu di kantin gini. Nggak terima gue." Ditundukkannya kepala untuk melihat bajunya yang basah.

"Terus kalo udah tau, lo mau ngapain?" tanya Toto penasaran.

Alvin tersenyum licik. "Ngapain ya enaknya? Pokoknya gue mesti kasih peringatan tu cewek. Jangan ikut campur urusan orang. To, Ndre, lo cari tau ya info tentang cewek itu."

"Gue usahain deh, ya," jawab Andre ragu.

Soalnya cewek semester satu banyak, apa lagi Andre juga belum tentu masih bisa mengingat wajah gadis itu besok. Kalau menurutnya, tampang cewek itu biasa saja, nggak mencolok juga. Ya nggak jelek sih, tapi biasa deh, menurut dia. Cuma memang modal nekatnya aja yang bikin Andre salut.

Alvin yang dikenal sebagai anak rektor sejak semester pertama cowok ini masuk, ditakuti oleh anak-anak di kampus. Bukan karena kedudukan orang tuanya saja. Tapi kalau lagi uring-uringan, dia bisa membalas berkali lipat siapa pun yang mengganggunya, meski hanya menyenggol sedikiiit saja. Dan sekarang Alvin sudah semester tujuh, popularitasnya otomatis meluas. Memang ia pantang untuk melibas perempuan, tapi pengecualian untuk cewek tadi.

***

Jessi menarik Vanta sambil setengah berlari menjauhi kantin, sementara Vanta tidak sadar kalau cowok gendut tadi juga ikut ia tarik keluar. Jessi menghentikan langkahnya di sebuah lorong menuju tempat parkir dengan mendadak. Angin berdesir kencang siang itu, menghempaskan rambut Vanta dan Jessi.

"Ya ampun Ta, lo ngapain sih tadi?!" pekik Jessi dengan suara tercekat.

"Gue kesel banget sih liat itu cowok! Gayanya selangit." Masih tetap digamitnya lengan cowok gendut tadi, cowok itu kini hanya diam, antara pasrah dan bingung.

"Aduh, Ta, bisa kena masalah kita nantinya. Lo nggak kira-kira dulu ya kalo ngomel. Eh, bukan kita sih, elo doang yang kena. Secara, yang diliat dia cuma elo. Eh, tapi tadi kan gue juga ke sana narik lo! Aduh... Gimana ini?!" Wajah Jessi terlihat panik sekali. Ia tidak berhenti mondar-mandir di depan Vanta.

Vanta yang tiba-tiba sadar kalau sejak tadi ia mencengkram pergelangan cowok gendut itu seketika melepasnya. Namun, cowok itu masih gemetar kaku di tempat. Kali ini Vanta benar-benar bingung melihat reaksi Jessi.

"Kenapa sih?" Sebelah alis Vanta terangkat. "Kok jadi heboh banget?"

"Lo mau tau kenapa?" Jessi berhenti mondar-mandir dan melotot ke arah sahabatnya. Ia melihat jelas sarat keingintahuan pada wajah Vanta. Setelah mengatur napas beberapa kali, gadis cantik itu melanjutkan dengan penekanan nada pada setiap kata yang diucapkan.

"Dia-anak-Rektor!"

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Where stories live. Discover now