Empat Puluh Tujuh

130 22 17
                                    

Happy Reading!

“Bisa nggak ya manusia punya haki?

Pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut Dimas membuat Lingga memasang wajah heran, seolah berkata, “Lo sehat?”

Haki. Kekuatan yang dimiliki semua makhluk hidup. Kita bisa punya nggak ya? Kalau bisa gue pengin punya haki biar bisa ngalahin buah iblis.”

“Lo pikir kita lagi hidup di dunia One Piece?”

“Tapi seru tahu. Kalau manusia punya haki. Apalagi bisa ngingip masa depan kayak Katakuri sama Luffy. Seenggaknya sekarang gue nggak buang-buang waktu buat nyiapin masa depan gue yang jelas-jelas kedepan gue nggak tahu gimana. Kalau punya haki kan gue bisa nerawang masa depan, abis itu gue tahu kalau harus gini.”

Oceh pemuda berwajah adem seperti ubin masjid ternyata sangat tak jelas juga, begitu pikir Lingga. “Ngedahuluin kodrat lo,” ujar pemuda Ananta. “Konon semakin kuat keyakinan seseorang terhadap diri dan mimpinya, semakin kuat haki yang dimiliki. Tapi kalau di dunia manusia haki itu mungkin kayak semakin kuat keyakinan seseorang terhadap Tuhan dan diri sendiri, maka semakin kuat iman yang dimiliki? Hadeh, otak gue kok pusing ya. Mending mikir Fisika, serius.” Ia yang sedang memainkan ponsel kini disimpan dalam saku celana putih—mengingat kalau hari ini memakai pakaian identitas.

Haki itu bisa dibangkitkan kalau fokus latihan, bisa juga abis ngalamin hal berat. Tapi ada juga yang bisa gunain haki tanpa ngalami dua peristiwa itu,” ucap Dimas. “Jadi semisal gini nggak sih, kalau iman yang kuat bisa dimiliki kalau kita bener-bener percaya saya Yang Kuasa.”

“Iya kali? Gue juga nggak tahu, tadi ngejawab asal aja,” tukas Lingga jujur.

Ya yang benar saja. Di jam istirahat pertama selepas menikmati bekal dari rumah keduanya duduk di bangku depan kelas sambil melihat murid Panorama bersliweran. Dan tiba-tiba Dimas mengajak berpikir aneh. Kalau batin Lingga mungkin otaknya sedang tak beres selepas pelajaran Matematika Wajib dan Kimia tadi.

Tingkatan haki yang pertaman kan Kenbunshoku, penggunaannya kayak indra kekuatan indra keenam. Bisa tahu target meksi bersembunyi, bisa ngerasain kekuatan emosi, suara dan keinginan seseorang. Jadi bisa lah ya ... manusia punya haki di tingkat ini. Tinggal caranya aja gimana bangkitinnya.”

“Atau mungkin haki ini macam kekuatan spiritual gitu, Dim,” sahut pemuda Ananta yang dari tadi malah keterusan ikut memikirkan haki. “Kalau tingkat haki Busoshoku kalau di dunia manusia bisa tuh dengan cara belajar ilmu bela diri. Kan teknik penggunaan Busoshoku memukul atau menangkis lawannya kan. Cuma Busoshoku ini menangkis lawannya tanpa nyentuh.”

“Iya, ya? Intinya tuh bisa cuma beda cara?” ujar Dimas yang penuh tanya karena masih belum yakin. Pemuda itu menghela napas. “Benar kata lo, mending mikir Fisika.”

Dengusan kecil keluar dari bibir Lingga, pemuda itu berkomemtar, “Ya lagian lo udah kayak Jurgen Habermas yang lagi buka diskusi Mazhab Fankfrut aja. Noh, mending pikirin tuh UN entar.”

“Ngapain mikirin UN. Tanpa gue pikirin gue udah pinter, ntar nilai gue seratus semua.”

“Gue doain nggak bisa ngerjain mampus lo. Biar nggak ada yang di sombongin lagi,” cibirnya.

“Hah. Gue capek sumpah. Rasanya males. Bisa nggak sih langsung kuliah aja, masuk dua semester terus lulus cumlaude.”

“Yeuh. Tolol bener lo.”

☼☼☼

Di saat guru-guru sudah jarang memasuki kelas karena mengingat materi pelajaran selesai, kini guru hanya masuk memberikan materi tambahan untuk bekal seperti Try Out, Ujian Sekolah dan Ujian Nasional. Memang sedikit bebas, tetapi tetap saja.

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now