Sebelas

265 25 13
                                    

Happy Reading!

Biasanya kalau hari libur, apa yang kalian lakukan? Tidur sepuasnya sampai siang? Atau jadi pembantu seharian—halusnya bantuin ibu memasak dan beres-beres rumah. Kalau ia sendiri, bukan berada diopsi pertama. Sebab, ibu bisa marah sampai besoknya lagi kalau ia bangun siang. Bangun siang versi ibu itu pukul 6 pagi, dan jika ia belum bangun, ibu akan menggedor pintu dengan kuat. Padahal, ia ingin merasakan bagaimana tidur sepuasnya di hari libur seperti cerita teman kelasnya. Herannya lagi, kenapa orang tua teman-temanya tidak marah jika mereka bangun siang—lebih dari jam 6 pagi. Ya, gimana, Jingga bangun jam 6 di hari libur saja, ibu sudah banyak mengomel dan itu akan berujung sampai besok-besoknya lagi. Alhasil, tak ada kata bangun siang di hidupnya Jingga.

Selesai salat subuh dan membereskan kamar, ia menghampiri ibu di dapur. Aroma harum yang sepertinya nasi goreng memenuhi ruangan. Bahkan, aromanya berasa sampai kamarnya. Benar saja, ada nasi goreng yang telah tertata rapi di meja makan.

Mendengar derap langkah seseorang, ibu menoleh, mendapati putrinya. “Ibu buat nasi goreng tuh, soalnya nasi tadi malam masih sisa, sayang kalau dibuang. Kamu sih, makan cuma dikit banget.”

Begitu kata ibu, ketika Jingga mencuci tangannya pada keran. “Pantes, baunya sampai kamar aku.” Gadis itu nyengir, meski tak tahu menertawakan apa. “Ibu mau masak apa?”

“Masak ayam, mau dibuat bumbu pedas. Tapi, kalau kamu pengin digoreng, ntar ibu sisain.”

Sementara ayah sudah duduk manis sambil menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Jingga menyusul, duduk dengan tenang, ia menuangkan teh hangat dari teko. Gadis itu menghirup teh itu lama, ia suka dengan aromanya. Orang bilang kebanyakan minum teh bikin mengantuk, meski demikian Jingga tetap menyukainya. Sebab, ini teh buatan ibu. Teh seduhan ibu selalu spesial, apalagi jika dicampur dengan gula jawa. Pokoknya benar-benar nikmat.

“Abisin nasi gorengnya, keburu dingin,” ucap ayah.

“Iya, bentar.” Gadis itu menyeruput teh miliknya sebelum menghabiskan nasi goreng yang sudah mengoda dari tadi.

Tebak, pagi ini ibu buat nasi goreng apa?

Nasi goreng shanghai! Asli, ini favorit Jingga. Rasanya gurih, dan warnanya terang karena tidak menggunakan kecap—alias nasi goreng oriental. Sebenarnya varian nasi goreng shanghai ada berbagai macam. Tetapi ibu menambahkan jagung pipil, wortel, daun bawang, otak-otak goreng dan ayam suwir. Gadis itu memakan dengan lahap, ia menikmati masakan ibu.

“Kurang asin nggak?” Ibu menatap putrinya dan bertanya mengenai rasa nasi gorengnya.

Jingga meggeleng pelan. “Nggak, kalau menurutku udah pas kok.”

Ibu diam tak menyahut lagi, beliau melanjutkan aktivitasnya—membuat bumbu untuk ayam.
Kedua orang tuanya libur, alhasil memanfaatkan waktu di rumah. Mungkin ayah akan membantu ibu berkebun, menyapu halaman rumah. Ya begitu, pekerjaan di rumah biasanya dibagi. Satu orang lelah, semua ikut lelah.

“Masih pagi kok hujan,” komentar ayah pada cuaca pagi ini, saat beliau telah menyelesaikan makannya. Ayah bersandar sambil menyesap teh hangat buatan ibu.

Seperti yang ayah katakan, pagi ini hujan. Akhir-akhir ini memang sering hujan. Padahal nih, tadinya cuaca tersenyum, tiba-tiba murung dan berakhir menumpahkan air mata. Memang ya, yang tak bisa ketebak selain mood manusia, ternyata cuaca juga begitu, suka tak menentu.

“Jemuran Ibu banyak banget padahal yang belum kering. Mana cucian udah numpuk lagi,” tukas ibu sambil mengulek kunyit, laos dan apalah itu guna untuk merebus ayam.

Serius, cuaca pagi ini dingin banget meski hujannya tidak terlalu deras. Kalau ia tak mengingat kata-kata ibu ‘Jangan bangun siang’, pasti Jingga masih bergulung dengan selimut.

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now