Tiga Puluh

100 12 0
                                    

Happy Reading!

Ketiga gadis itu duduk di bangku panjang depan kelas. Menikmati waktu istirahat kedua. Jingga memangku kotak bekal yang berisi roti yang disiapkan oleh ibunya tadi pagi. Ia membagi roti itu pada Aura dan juga Jeni. Aura tak suka dengan makanan yang ada kejunya, oleh karena itu Jingga menyodorkan roti yang isinya selai coklat.

“Makasih,” ucap Jeni. Gadis itu langsung menggigit kecil roti dari Jingga.

Aura menerima roti yang didodorkan Jingga, ia membolak-balik roti tersebut. “Nggak ada keju sama susunya kan?” Ia tak suka keju. Menurut Aura, keju dan susu itu sesuatu yang menjijikkan, seenak apapun makanannya jika ada keju dan susu ia tak akan memakan makanan tersebut.

Jingga menggeleng. Berteman dengan Aura dari awal masuk kelas sepuluh, ia tahu apa yang Aura suka ataupun tidak. “Nope. Itu cokelat doang.”

“Aaaa ... makasih, Beb. Lo emang pengertian,” respon Aura ceria dengan mata berbinar. Ia menggigit roti itu, menikmati roti selai cokelat yang lumer di mulut.

Ketiga gadis itu menikmati makanan masing-masing sambil menunggu jam istirahat usai. Biasanya di jam istirahat kedua Jingga dan Aura pergi ke mushola, namun karena Jingga sedang berhalangan ia tidak salat zuhur, sementara Aura akan Salat ketika bell istirahat kurang lima menit. Karena di jam segini mushola sangat ramai dan harus bergantian meminjam mukena.

“Lihat tuh siapa yang jalan arah jam satu,” bisik Jeni pada kedua sahabatnya. Aura dan Jingga menatap arah jam satu seperti apa yang dikatakan Jeni.

“Subhanallah ... dahi Senja kinclong banget abis Salat. Auranya tuh kayak ada cahaya yang bersinar, dia benar-benar kayak malaikat tanpa sayap,” tutur Aura hiperbolis. “Alan tuh sebenarnya juga cakep. Cakepnya yang nggak ngebosenin kalau dilihat terus. Cuma gue nggak suka sifat tengilnya.”

Netranya menatap Senja tanpa kedip sebelum ia tersadar dan mengalihkan pandangan ke segala arah. Jingga sempat terpana, jatuh akan pesona pemuda tersebut.

“Dia cuma jalan tapi kok ganteng banget ya,” cicit Aura lagi. “Auranya kayak jalan di catwalk.”

Jeni mencibir, “Sadar lo, udah punya pacar juga.”

“Cowok gue nggak di sini santai aja.”

“Dasar. Inget, yang lo puji itu idaman gadis-gadis sesekolah. Banyak cewek cantik, lo mundur aja kalau mau dekatin Senja.” Jeni mendengus.

Aura memutar bola mata. “Di dunia ini nggak ada yang mungkin. Kalau misal Senja suka gue yang biasa aja, ya bisa apa?” tuturnya penuh percaya diri. “Tapi, sayangnya dia bukan tipe gue. Seganteng apapun dia, Senja nggak masuk kriteria pacar bagi gue. Ya cakep sih, cuma ngebosenin. Masih ketolong manis aja itu anak kalau senyum. Bukannya apa ... gue cuma berpendapat doang sih.”

Beberapa detik kemudian Jeni mengangguk. “Iya, sih. Lo benar. Gue pun juga gitu.”

“Eh, Daniela masih suka Senja nggak, sih?” tanya Aura memulai sesi perghibahan. Gadis itu menoleh kanan-kiri, siapa tahu ada orang nguping misi perghibahan rahasia mereka.

Jeni menggigit roti terakhir sebelum mulai memberi informasi yang mungkin sangat akan mendukung ke sesi ghibah selanjutnya. “Masih. Dia gencar banget dekatin Senja. Gue dengar awal kelas sepuluh dia suka sama si S ini. Kalian ingat nggak sih, pas kelas sepuluh dia udah dekatin S, tapi si Snya nggak ngerespon. Like ... biasa aja? S emang perhatian, bahkan ke siapa pun. Setahu gue dia anggap D cuma sebagai teman.”

“Tapi D sempat pacaran sama Kakak kelas, terus pas kelas sebelas gue kira pacaran sama Isha. Ya lo lihat, abis mereka dekat banget.” Aura mengernyit. “Tapi kalau dipikir mungkin cuma sebatas teman, lagian D sama Isha pas SMP satu sekolah.”

Kombinasi | New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang