Empat Puluh

132 19 15
                                    

Happy Reading!

Pagi menjelang siang, istirahat pertama mereka sudah berkumpul di satu meja. Benar, meja Jingga dan Aura. Seperti biasa, mereka makan bekal masing-masing bersama, meski tak setiap hari. Tetapi makan bersama seperti ini terasa seru apalagi dibumbui cerita. Tampak meja kedua gadis itu di atasnya sudah ada lima kotak bekal, botol air mineral, dan jajanan dari kantin seperti gorengan.

"Besok katanya Kakak-kakak anak kuliahan bakal ke sini," ucap Jeni saat istirahat pertama tiba.

"Tahu dari mana?" tanya Aura.

"Kakak gue yang bilang."

"Oh. Kakak lo anak Undip kan ya, Jen? Ambil apa Kakak lo?"

"He'em, Ra. Dia ambil Hukum."

"Kakak lo Hukum, terus lo mau ambil Jepang," sahut Aura lagi. Ia sudah tak heran, bagaimana suka sahabatnya itu terhadap Jejepangan.

Mutia meminum jus buah naganya. "Besok bakal pulang awal nggak, ya?"

Jingga menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. "Kayaknya nggak, deh. Tapi bakal ada jam kosong pas siangnya."

"Sampai saat ini gue bingung mau kuliah di mana, ambil apa." Aura menggigit kerupuknya. Dari rautnya saat mengatakan kalimat tadi tak ada rasa khawatir dan bingung. Gadis itu terkesan santai. "Nilai gue aja pas-pasan, nggak bakal lolos SNM juga. Kalau ikut SBM ... nggak tahu deh bakal lolos apa nggak."

"Swasta masih banyak, ya nggak Ra?" celetuk Mutia. "UPH misalnya atau Binus."

Aika mendelik, menyela ucapan sahabatnya itu. "Tapi mahal, njir. Kalau bisa sih negeri."

"Ya gimana ... orang misal di negeri gak diterima dan keinginan kuliah udah kuat. Mau gap year? Ya nggak apa sih sebenanya ..."

"Tapi kalau di UPH, mahal banget ... yang ada ntar Uang Papa Habis atau Uang Papa Hangus," balas Jingga dan mendapat kekehan dari empat sahabatnya. "UPH, Binus, Telkom, duh terkenal mahalnya. Tapi banyak sih artis-artis yang lanjutin pendidikan kayak di UPH, Binus gitu ..."

"Anjir. Uang Papa Habis." Aika masih menertawakan perihal plesetan dari singkatan UPH. "Ya kalau duit orang tuanya banyak sih nggak masalah, atau kitanya udah bisa cari uang sendiri. Terserah mau kuliah di tempat mahal ya nggak masalah. Tapi kalau duit masih dari orang tua nggak enak, iya nggak sih?"

"Iya. Meski orang tua bakal ngasih dan kita masih tanggungan orang tua tapi tetap aja nggak enak," ungkap Jingga.

Muti mangut-mangut, kemudian tercengir dan menatap Aura. "Masih ada Trisakti sama Pancasila Ra, tenang. Atau lo mau ke Persident University ..."

Jeni meringis dan bergumam pelan. "Sama aja, perasaan."

"Ah, kalau Persident University kurang populer nggak sih? Meski sama-sama mahal. Masih kalau poluler sama Trisakti." Tangan Aika bergerak mengambil jamur krispi milik Jeni. "Jen, minta ya. Nasi gue masih tapi lauknya habis," ucapnya dan diangguki oleh Jeni.

"Tujuan kuliah lo apa kalau ngelihat populer atau nggaknya kampus?" tanya Muti. Baginya, yang penting menimba ilmu. Nilai oke, skill pun oke.

"Gimana ya? Kalau kampusnya popule kan kayak udah terpercaya gitu loh, entah itu dari segi apapun. Duh ... gue bingung jelasinnya. Tapi semoga aja kalian paham. Gue nggak ngeremehin Persident University kok, cuma setiap orang kan punya pilihan."

"Gue paham. Tapi kan kalau bisa kuliah di Univ yang akreditasnya udah A, entar akreditas kampusnya ataupun prodinya," timpal Jeni sebelum mengunyah ayam krispi.

"Persident University kurang terkenal tuh mungkin di antara Binus, UPH, Trisakti, Telkom ... President University berdirinya paling akhir dari kampus tadi. Tapi nggak tahu juga kenapa," jawab Jingga. Gadis itu menutup kotak bekalnya yang sudah habis.

Kombinasi | New Versionحيث تعيش القصص. اكتشف الآن