1- impian Tiara

95 26 11
                                    

Tiara membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan beberapa buku tersebar di sekitarnya.

Dia bingung bagaimana bicara ke ayah dan bundanya tentang kampus impiannya. Tidak mungkin dia memendam masalah itu sampai sekarang, karena dia sudah diterima menjadi salah satu mahasiswa di universitas London, kampus impiannya itu lewat jalur prestasi sekolah.

"Kakak gak makan malam?" Suara lembut di dekatnya menyadarkan Tiara dari lamunan. Dia bangun melihat bundanya yang duduk di tepi ranjang.

"Kakak kenapa? Kok gundah gitu kayaknya," ujar Ayu selaku bunda Tiara.

"Enggak Bun, cuma lagi mikir sesuatu aja." Gadis itu bangun mendekati bundanya dan duduk di sampingnya.

"Makan malam dulu yuk, ayah sama abang udah nungguin di bawah."

Tiara dan bundanya pun turun ke lantai satu dan memulai makan malam mereka.

"Kenapa itu Bun, muka Kakak kok kusut banget," celetuk Yandi.

"Enggak tau Yah, katanya mikirin sesuatu gitu."

"Halah, mungkin Kakak lagi galau Yah, Bun," timpal Ragil, adik Tiara.

Tiara mendesah panjang. Tak kunjung membuka suara dan memilih untuk memakan makanan di piringnya, mengabaikan obrolan di sekitarnya.

"Kak?" Yandi memanggil anaknya, namun tampaknya Tiara justru mengabaikannya.

"KAK?!"

Kediaman Tiara hancur mendengar suara keras itu. Matanya mengerjap sebelum menoleh pada adiknya. "Abang apaan sih, bikin kaget tau."

Ragil mendengus. "Kakak tuh loh dipanggil Ayah, tapi malah melamun," ujarnya.

Tiara lalu menatap ayahnya yang sedang mengamatinya dalam diam.

"Kakak ada masalah?" tanya Yandi mulai mengabaikan makanannya.

Tiara menggeleng. "Enggak kok Yah," dustanya. Tiara masih dikebimbangan untuk memberitahu kebenaran pada ayahnya itu.

"Apa soal kuliah Kakak?"

Tanpa sadar Tiara menahan napasnya sejenak, matanya terlihat semakin risau dan itu semua tak luput dari perhatian ayah dan bundanya.

"I-itu ...."

"Semalem Bunda nemuin berkas-berkas registrasi universitas London di kamar Kakak waktu beres-beres. Bunda sama Ayah nunggu Kakak cerita sendiri ke kami, tapi Kakak malah sering gelisah ngabisin waktu di kamar terus-terusan," ujar Ayu dengan tenang.

Ruang makan semakin hening, semua orang sudah menghentikan kegiatan makan malam mereka entah sejak kapan. Bahkan Ragil yang tadinya asik makan pun mulai tertarik menyimak bahasan orangtuanya dengan kakaknya itu.

Tiara tampak gelisah di tempat duduknya. Kedua tangannya yang memegang sendok semakin mengencangkan cengkramannya. "Maafin Tiya, Yah, Bun. Maaf udah nyembunyiin hal itu dari Ayah dan Bunda. Tiya ngaku salah, Tiya minta maaf," lirihnya dengan mata berkaca-kaca.

Ragil mulai turun dari tempat duduknya saat melihat kesedihan kakaknya. Dia mengusap bahu Tiara perlahan, berusaha memberikan kekuatan dan dukungan dari sentuhannya.

"Kakak tau kan, Ayah sama Bunda gak pernah kasih kakak ijin buat kuliah jauh-jauh apalagi sampai ke luar negeri?"

Gadis itu mulai sesenggukan, meski sudah berusaha menahan tangisnya. Kedua tangannya sudah sibuk mengusapi air matanya yang memaksa keluar dari kedua garis matanya. "Ti-iya tau, Yah. Tiya minta maaf, tapi Tiya beneran ingin sekali kuliah di sana. Itu impian Tiya sejak Tiya SMP, Yah ...."

Too young to marryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang