4. Baru kusadari

17 10 4
                                    

         'Bruugh...'
Aku hempaskan diriku jatuh ke atas tempat tidur. Sambil meringis, kemudian kuusap kembali pantatku yang masih terasa sakit. Sialan. Aku kembali emosi teringat Syakila kali ini berhasil balas mempermainkanku.

         Padahal tadi tinggal sedikit lagi sampai kudapatkan ciumannya. Tapi sekarang, bahkan kartu pelajar yang mau kujadikan jaminan supaya dia menurut padaku pun sudah berhasil direbutnya.

"Gadis itu, benar-benar... arghhh, menyebalkan !" Teriakku kesal.

         Meski begitu, entah kenapa rasanya sedikit berbeda. Teringat Syakila, aku memang kesal tapi sekaligus merasa senang. Sepertinya sekarang aku jadi sedikit tertarik padanya. Terlebih lagi...

         Kusentuh bibirku dan sambil menutup mata kukenang kembali kejadian kemarin sore saat aku tanpa sadar sudah mencium gadis itu. Sungguh rasa dan kelembutannya masih tersisa. Dan kalau terus kuingat, jantungku jadi berdebar beda dari biasanya. Perasaan apa ini? Aku masih belum mengerti. Apa mungkin aku suka padanya?

"Hahaha..." aku tertawa kaku. Merinding memikirkannya.
"Tidak. Itu tidak mungkin. Cih, kayak yang gak ada cewek lain aja yang lebih baik." Ku enyahkan pikiran itu dan memendam perasaanku dalam-dalam.

"Jangan jadi payah Shaquille! Cuma ciuman doang masa sampai membuatku jatuh cinta ?" Kukatakan itu pada diriku sendiri.

.

.

.

         Ya, ini memang bukan sekedar karena ciuman. Tidak pernah sebelumnya aku menaruh minat sebesar ini terhadap orang lain. Sungguh yang kurasakan ada sesuatu dalam diri gadis itu yang membuatku tertarik.

         Rasanya menyenangkan sekali setiap kali menggoda dia, membuatnya marah dan balas menyerangku. Aku seperti punya mainan yang tidak pernah bosan tuk kumainkan. Makanya dengan iseng kurebut french fries makan siangnya, niatku cuma bercanda. Tapi tidak kukira dia akan semarah itu padaku hanya karena puding.

         'Byuurr...'
Aku langsung disiramnya dengan air.

"Wah ?!"

"Syakila..."

"Shaquille..."

         Semua orang terkejut. Kurasakan tatapan mereka tertuju pada kami.

"Kau, beraninya..." desisku sambil menyeka wajahnya yang jadi basah, kupandang Syakila dengan tatapan kesal.

"Hei! Hei! Udah cukup. Hentikan! Masa bertengkar cuma karena berebut kentang goreng." Nathan coba melerai.
"Mbing, kamu yang salah. Sana minta maaf sama Syakila."

"Enak aja." Aku tidak terima.

         Ya ampun, masa aku yang disiram, aku yang jadi korban, tapi aku yang harus minta maaf. Harga diriku sebagai keturunan Melviano tidak bisa menerimanya.

         Kupikir saat itu Syakila hendak balas membalas memakiku, tapi nyatanya dia malah terdiam. Kulihat mata hijau miliknya berlinang, Syakila menggigit bibir bawahnya seperti sedang mencoba menahan diri untuk tidak menangis.

         Aku terpaku melihat ekspresinya. Tidak lama gadis itu memilih berbalik dan tanpa basa-basi melangkah pergi begitu saja. Benar-benar menunjukkan kemarahan.

"Ayolah, masa cuma karena puding." Kataku tidak mengerti.

"Ihh, Kak Shaquille jahat. Itu bukan sembarang puding. Syakila mendapatkannya dari orang yang dia sukai. Baginya itu berharga." Kata Icha memberikan penjelasan.

         Sejenak aku berpikir, 'Orang yang disukai Syakila? Cih, si Gavin itu ya ?'

"Wah, Mbing kali ini memang salahmu. Sebaiknya kau minta maaf sama Syakila." Kata Nathan.

         Minta maaf? Eee... ya mudah saja sih buatku minta maaf. Baiklah, aku akui kesalahanku. Tapi rasanya kesal juga setelah tahu dia marah padaku karena ada hubungannya dengan Gavin.

         Syakila bodoh !

.

.

.

         Bodoh!
Yang bodoh itu aku atau dirimu? Menyukai seseorang yang menyukai orang lain.

         Aku terkejut setelah mendengar pernyataan Marsya. Gadis berambut cokelat siswa sekolah Pelita Harapan itu adalah tetangga dan teman masa kecilku. Pantas saja aku merasa seperti pernah melihat Gavin sebelumnya. Itu karena aku sering melihat pemuda itu jalan bersama Marsya di sekitar komplek perumahan.

"Gavin Saveri pacarmu? Yang rambutnya pirang? Yang punya tahi lalat di kening ?" Tanyaku.

"Iya. Yang ganteng, keren, baik. Hm... itu kamu udah kenal dia ?" Kata Marsya.

"Hm. Gak disebut kenal sih, hanya saja..." aku kembali teringat Syakila. Kalau tidak salah tadi dia pergi ke gedung barat, jangan-jangan mau bertemu dengan Gavin.

"Bagus. Kalau begini kan jadi gampang. Shaqi... please, temani aku bantu cari Gavin ya." Marsya langsung menarik tanganku.

         Sebenarnya males banget buatku jalan bareng Marsya, apa lagi buat cari laki-laki itu. Tapi hatiku sedikit resah. Cemas memikirkan Syakila. Bagaimana reaksinya kalau dia tahu kenyataan yang sebenarnya tentang Gavin.

.

.

.

"Huaaa... huhuhu... hiks... hiks... hiks..."

         Didadaku dia terisak. Menangis. Menumpahkan segala kesedihannya. Tangannya yang terkepal mencengkeram erat bajuku. Membasahinya dengan air mata yang keluar kian bersusulan dari matanya yang sembab.

         Tubuh itu gemetar, tampak rapuh dan seakan bisa hancur bila tidak kuperlakukan dengan lembut. Maka kupeluk dia perlahan. Membelai helaian rambut hitam sepunggungnya. Mencoba menenangkannya. Dan kuharap kehadiranku bisa membuatnya merasa lebih baik.

         Disela suara tangis, berulang kali terdengar nama 'Gavin' disebutnya. Nama lelaki yang kutahu selama ini disukainya. Lelaki yang barusan mungkin sudah menolaknya. Memberikan luka, menyakiti hati yang membuatnya sampai menangis seperti ini dipelukanku.

         Bisa kurasakan segala kesedihannya. Betapa Syakila terluka dan betapa dia begitu mencintai pemuda itu. Semuanya bisa kurasakan. Dan aku sendiri pun baru menyadari adanya perasaan lain yang muncul dalam hatiku saat aku bersama Syakila seperti ini.

.

.

.

"Terima kasih." Ucap Syakila lirih, begitu kami berpisah di depan gerbang sekolah.

"Sampai nanti Kak Shaquille."

         Aku terdiam sesaat, memandangi sosok gadis yang berjalan kian menjauh itu. Barusan Syakila masih mencoba memberikan senyuman terbaiknya padaku sambil berpamitan.

         Sejak bertemu dengannya, melihat senyumannya, berusaha mengenal dirinya, aku makin berubah jadi tidak seperti diriku yang biasanya. Gadis itu 'Syakila Qirani'. Dia sudah mengusik hidup dan hatiku sampai sejauh ini.

         Sosoknya berubah jadi berarti buatku. Menjadi sosok yang tidak terabaikan. Maka saat kulihat dia pergi dengan masih membawa kesedihan, aku tidak bisa diam saja membiarkan dia menanggung rasa itu sendirian.

Tbc

Affogato[END]Where stories live. Discover now