Saya membuka pintu ruangan bercat putih di hadapan saya dan menemukan sosok Rafka yang sedang memijit pelipisnya. Kaki saya berjalan ke arahnya. "Sudah sadar?"

"Kalau belum, lo nggak bakal bisa lihat gue melototin lo sekarang. Nggak ada pertanyaan lain apa?" sahutnya kesal.

Rafka tetap menyebalkan walau sedang bonyok seperti itu. Saya menatap satu persatu luka di tubuhnya. Mulai dari wajah sampai tangannya yang sedang memegangi perut bagian bawah. Dokter bilang luka-lukanya memang tidak parah, beberapa hari ke depan mungkin akan sembuh. Tapi ini Rafka, anak manja yang tidak bisa tahan sakit.

"Oke, pertanyaan lain. Jadi, kamu pingsan saat nolongin Alfy?" tanya saya membuat dia membulatkan mata.

"Alfy mana? Dia udah nggak di sini, kan?" Rafka celingukan dengan wajah panik.

Bibir saya terangkat miring. "Kenapa? Malu?"

Rafka langsung memasang wajah kalem. "Siapa yang malu? Gue ... gue cuma nggak mau aja dia khawatir saat lihat kondisi gue sekarang."

"Alibi. Lagian bisa-bisanya kamu bikin malu Kakak. Masa abis nolongin cewek malah pingsan? Udah gitu malah ceweknya yang ngabisin preman-premannya. Memalukan kaum adam di dunia ini kamu, Raf."

"Ngomong satu kata lagi abis lo ya sama gue," ancamnya sama sekali tidak membuat saya takut.

Saya menatapnya remeh. "Besok kamu ngajar di kelas Alfy, kan? Mending kamu persiapkan diri, Raf. Atau ... mau ambil cuti?"

Wajah Rafka misuh-misuh setelahnya. Saya yakin dia sedang mencari cara untuk menghadapi hari esok.

• • •

RAFKA

"Selamat pagi, Kak."

"Pagi."

Gue membalas beberapa sapaan serupa saat melewati lorong-lorong kelas. Hari ini gue tidak bisa mengumbar senyum manis dengan leluasa karena gue memilih untuk menggunakan masker. Gue malas untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan orang tentang wajah bonyok gue. Dan ini jalan ninja gue, menutupinya dengan masker.

Sebelum bersiap mengajar, gue seperti biasa menyinggahi kantor guru terlebih dahulu sekadar untuk menunggu bel masuk berdentang. Saat ini gue sedang duduk dengan perasaan gelisah. Gue benar-benar belum siap untuk bertemu Alfy.

Bagaimana kalau selama gue mengajar nanti dia menunjukkan wajah meledek? Atau sengaja memaksa gue untuk membuka masker dan mempertontonkan wajah bonyok gue di depan semua murid? Walaupun dia cantik, gue tahu dia itu julid. Gue nggak bisa menebak tindak-tanduknya dan gue harus punya rencana untuk menghadapi itu.

"Eh, Pak Rafka sudah datang? Tumben, Pak, pakai masker?"

Gue terkesiap ketika Bu Cindy-guru piket-menyapa gue. "Eh, iya, Bu. Ini ... agak lagi nggak enak badan."

"Oh gitu. Lekas sembuh kalau begitu, Pak."

"Iya, Bu. Terima kasih."

Bu Cindy tersenyum sebelum berlalu pergi. Gue menghela napas lega. Di pergosipan para guru, gue dengan Bu Cindy kerap dipersandingkan. Alasannya simpel, kami masih sama-sama muda dan sama-sama cantik dan ganteng. Ya, gue akui Bu Cindy memang cantik. Bahkan para murid laki-laki pun banyak yang terang-terangan menunjukkan rasa suka mereka. Tapi, gue sama sekali nggak tertarik untuk membuat skandal dengan guru piket cantik itu.

Pikiran gue terinterupsi dengan suara bel masuk yang berbunyi. Gue pun bersiap untuk mengajar setelah mengambil beberapa buku yang gue butuhkan. Sebelum benar-benar melangkah, gue mengambil napas banyak-banyak.

IneffableWhere stories live. Discover now