4 | Di Bawa ke Surga

12.5K 1.1K 13
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Takdir.

Tak ada yang tahu perihal itu. Tak hanya satu. Ada jutaan yang mengharap takdir itu berpangku. Membersamai hidup yang tak melulu tentang pilu. Bangganya ketika takdir menyambut penuh haru, ada ribuan orang yang melupakan siapa pemberi takdir itu. Menyombongkan hidup yang realitanya semu.

Setiap insan berbeda pencapaian yang mereka miliki. Ada yang harus berdarah-darah dulu, ada yang mudah tanpa harus berjuang penuh. Namun percayalah, tiap asa yang selalu kita tadah, ada banyak malaikat yang mengaminkan di sana.

Dan Arunika mempercayai itu. Tak ada harapan yang menggantung kecuali pada Allah. Doa itu akan melambung, hingga entah kapan pencapaian itu akan berlabuh. Yang dia perlukan hanya menunggu dan berusaha tak kecewa pada hal yang jatuh.

Arunika sibuk dengan pikirannya, sampai tak tahu bahwa kelas hampir usai. Setiap Aga yang membawakan materi, cepat-cepat Arunika mengambil kursi barisan tengah hingga tubuhnya bisa ditutupi oleh teman-teman yang duduk di depan.

Dia akui, kini ia menjaga jarak. Arunika tak bisa menutupi bahwa ia merasa tak dihargai. Ah, memang benar 'kan? Dari awal pertama pertemuan mereka, Arunika hanyalah embun yang terbang bersamaan angin pagi.

“Ayok, ke kantin!” ajak Aurora yang kini memasukkan buku-buku ke dalam tas.

Arunika menggeleng, tangannya berhenti mencatat sesuatu di atas meja. “Aku mau nemuin dosen pembimbing lapangan untuk PPL, kalian mau ikut?”

Lantas Aurora dan Utami kompak menggeleng. Deru napas mereka pun bersamaan terembus. Aurora berdecak seraya berkacak pinggang. “Nanti aja deh, mumet kepalaku. Masih lama juga PPL, Ika,” jawab Aurora spontan. Ranselnya kini sudah beralih di atas bahu. “Ke kantin dulu aja deh, nanti kalau sudah selesai semua baru kita bincang-bincang tentang PPL.”

“Kalian duluan aja, nanti aku nyusul.”

Mereka berdua pun mengangguk seolah mengerti bagaimana tabiat sahabatnya ini. Hingga mereka pun melenggang pergi dari kelas seraya merangkul tak mau terpisah.

Tanpa Arunika sadari ada sepasang mata yang memperhatikan ia dari tadi. Aga membisu di tempatnya, pandangannya mengunci sosok perempuan yang kini dia yakini tak mau menatap dirinya lagi. Ketika mereka tak sengaja bertemu pandang, Arunika segera memalingkan wajahnya. Bahkan perempuan itu tak memperhatikan kelas yang sedang berlangsung.

Hingga tungkai yang terbalut rok plisket tersebut melewatinya tanpa mau menyapa terlebih dahulu. Arunika menatap nyalang ke depan, air mukanya penuh rasa gugup sekarang. Entahlah, dia diluputi rasa kecewa. Seharusnya, Arunika sadar siapa dirinya sebenarnya.

Untuk, Arunika ✔ [PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now