Tiga Puluh Enam

Mulai dari awal
                                    

"Antara saham dan perusahaan sama sekali gak ada hubungannya sama perjodohan gue dan Soraya."

Mendengar kalimat polos Dava membuat Jason gemas. "Dav, Lo sekolah tinggi-tinggi, dapat gelar sarjana dan jadi direktur tapi Lo sama sekali gak tahu soal kayak gini?"

"Kalau sampai Bokap Soraya narik seluruh saham dia dari perusahaan lo, otomatis para investor yang lain juga akan melakukan hal yang sama. Bahkan calon investor pun bakal pergi gitu aja. It means, harga saham Lo akan jatuh dan perusahaan lo bisa collapse."

Dava tertawa, "narik saham gak segampang narik bulu hidung, Jason!"

"Dav, gue juga tahu dia gak akan bisa narik saham segampang itu. Tapi Lo harus tahu satu hal, kartu mati perusahan Lo ada di tangan Bokapnya Soraya. Kalau sampai para investor yang lain kena hasut, bokap Lo bisa didepak dari jabatannya, perusahaan lo bangkrut, endingnya bakal diakusisi oleh perusahaan dia."

"Jadi intinya?" tanya Dava benar-benar tak mengerti dengan kalimat-kalimat Jason.

Dalam hati Jason mengutuk Dava. Tampilannya saja terlihat cerdas, aslinya kosong.

Jason kembali menghela napas. "Intinya, orangtua lo menjodohkan kalian berdua supaya perusahaan lo aman. Kalau perusahaan lo collapse dan diakusisi perusahaan Soraya, Lo masih punya saham, ya paling sedikit sepuluh persen."

"Gimana kalau perusahaan lo aja yang akusisi perusahaan gue kalau gue bangkrut?" Dava mencoba memberi ide yang membuat Jason geram.

Seolah bergerak dengan sendirinya, tangan Jason lalu memukul belakang kepala Dava dengan cukup keras hingga Dava meringis dan otomatis mengusap belakang kepalanya.

Jason mendengus kesal dan berbalik meninggalkan Dava yang masih sibuk meredakan kepalanya yang nyut-nyutan. "Woy, Gue ikut!" teriak Dava dibalas lambaian tangan oleh Jason yang masuk ke dalam mobil.

Jason menurunkan kaca mobilnya seraya berkata, "Lo pulang sendiri, gak usah manja minta diantarin segala!" ucapnya kembali menaikan kaca mobilnya hingga tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Dava.

Tanpa berlama-lama lagi, Jason menyalakan mesin mobil dan mulai menjalankannya. Dari kaca spion, Jason sempat melihat Dava yang menelpon seseorang. Jason masih sedikit kesal dengan kalimat Dava tadi. Andai saja pria itu tidak menjalin hubungan dengan adiknya, Jason tidak mau repot-repot membantu Dava.

"Kenapa gak bareng Dava?" tanya Vanilla. Jason hanya mengangkat kedua bahunya seraya fokus dengan jalan dihadapannya.

Karena Jason tak menggubris pertanyaannya, Vanilla pun memutuskan untuk tidur saja. Lagi pula perjalanan mereka masih cukup lama dan Vanilla sama sekali tidak beristirahat di pesawat tadi karena Dava yang tak henti-henti mengganggunya. Bagaimana bisa Vanilla tidur nyenyak jika pria yang disukainya terus membuat jantungnya berdegup tak karuan?

*****

"Dari mana saja kamu?"

Kalimat intimidasi dari Ayah Dava membuat Dava menghentikan langkahnya persis di ruang keluarga. Terlihat Ayahnya sedang duduk sembari membaca sebuah koran dengan secangkir kopi yang tergeletak diatas meja.

"Jalan-jalan," jawab Dava seadanya dan hendak kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kamar.

Ayah Dava membanting koran yang dibacanya keatas meja, "Dari mana kamu, Rian!" teriak Ayahnya membuat Dava kembali berhenti melangkah dan menghela napas.

Dava menoleh, "Dava pergi sama Vanilla ke Paris, kenapa?" jawab Dava sama sekali tak takut dengan raut wajah Ayahnya yang terlihat mulai emosi.

"Disaat seperti ini kamu sempat-sempatnya pergi ke luar negri dan meninggalkan tanggung jawab kamu di perusahaan?"

"Perusahaan lagi, perusahaan lagi," gumam Dava muak. "Pa, jangan bawa-bawa nama perusahaan kalau ini berkaitan sama hubungan Dava dan Soraya."

"Apa kata orang tua Soraya kalau tahu kamu pergi dengan perempuan lain, berduaan. Rian, Papa kan sudah bilang, selama kamu bersama Soraya, jangan mendekati perempuan lain!"

Nama Rian terdengar asing ditelinga Dava, padahal Rian adalah nama panggilannya sejak kecil. Namun entah mengapa semakin lama Dava semakin tidak suka jika ada yang memanggilnya dengan nama Rian.

"Dava gak pernah dengar tuh Papa bilang kalau Dava gak boleh dekat sama perempuan lain. Seingat Dava, Papa bilang kalau semua pilihan ada ditangan Dava. Lagi pula Dava gak pernah setuju untuk punya hubungan sama Soraya. Dava gak kenal Soraya dan Dava gak punya perasaan apapun ke dia."

Mendengar kalimat bantahan Dava membuat Ayahnya bungkam. Wajahnya merah padam, seperti bom atom yang siap meledak.

Dava kembali menghela napas, "Pa, sekarang Dava sudah punya pilihan sendiri. Dava yakin pilihan Dava sudah tepat. Dava gak mau kejadian sepuluh tahun yang lalu terulang lagi. Dulu Dava masih gak tahu apa-apa, tapi sekarang Dava sudah dewasa, Pa. Baik buruknya hubungan yang Dava jalani, hanya Dava yang tahu, bukan Papa."

"Ini semua demi--"

"Demi keluarga, i know. Perusahaan segalanya bagi Papa, iya kan?"

"Dava anak tertua, dan Dava punya tanggung jawab besar di keluarga ini, tapi bukan seperti ini caranya. Itu sama aja Papa gak percaya kalau Dava bisa meneruskan perusahaan keluarga ini tanpa campur tangan dari orang lain."

Dava langsung berlalu begitu saja tanpa memperdulikan Ayahnya yang berulang kali memanggil. Semua hal mengenai perusahaan dan keluarga benar-benar membuat kepalanya berdenyut sakit.

Dava mulai berpikir, selalu saja ada rintangan yang menghalangi setiap kali Dava mencoba untuk berpegang teguh pada pilihannya. Seolahnya hidupnya dikontrol seseorang yang tidak ingin Dava bahagia.

Hidupnya memang terbilang mewah sejak kecil. Dan sekarang Dava paham, dibalik kemewahan yang dulu Dava nikmati, ada harga yang harus ia bayar. Mempertahankan sebuah perusahaan yang menghidupinya sejak kecil bukanlah perkara mudah. Apalagi di era seperti sekarang. Banyak pesaing dari perusahaan asing yang mencoba untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan lokal. Beginilah kejamnya dunia bisnis. Rela melakukan apa saja demi tetap jaya. Bahkan masa depan dan kebahagian pun rela dikorbankan. Memang tidak semua, tapi kebanyakan memilih untuk hidup dengan seseorang yang statusnya setara. Padahal status sosial tidak menjamin kebahagian seseorang.

Dava menggaruk kepalanya frustasi. Kalimat-kalimat Jason mulai terngiang dipikirannya. Sebenarnya Dava tahu tujuan dari perjodohan antara dirinya dan Soraya, apalagi kalau bukan karena bisnis. Hanya saja Dava tidak tahu mengenai posisi orangtua Soraya di perusahaannya. Dava juga tidak mau membuat Jason berpikir bahwa ia hanya akan kembali mempermainkan perasaan Vanilla. Jujur, Jason terlihat lebih menakutkan dibanding kemarahan Ayahnya. Itu sebabnya Dava mencoba untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.

Ponselnya bergetar, membuyarkan lamunan Dava. Segera ia mengecek notifikasi yang masuk. Ternyata sebuah pesan dari Vanilla.

Membaca pesan tersebut membuat Dava langsung senyum-senyum sendiri. Dava pun membalas pesan Vanilla, tak lupa ia memberikan emoticon hati diakhir kalimatnya. Hanya sebuah pesan singkat, namun mampu mengembalikan suasana hati Dava yang semula kesal menjadi senang.

Dava membuka laci nakas paling bawah yang berada persis disamping tempat tidurnya. Disana tergelatak sebuah foto yang sudah tersimpan hampir sepuluh tahun lamanya. Ya, foto pertama Dava bersama Vanilla. Dibalik foto tersebut ada sebuah tulisan 'Dava & Vanilla' yang sengaja ditulis oleh Vanilla ketika mereka mengambil foto tersebut.

Setelah memandanginya cukup lama, Davapun meletakan foto tersebut diatas nakas. Foto dengan seragam putih abu-abu yang memiliki banyak kenangan. Meski tidak semuanya indah, namun tetap saja membekas diingatan Dava.

******


Sabtu, 25 Juli 2020

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang