Asrama Biru

224 33 2
                                    

Aku melihat layar di belakang panggung yang menampilkan pembagian asrama setiap anak dalam program ini, dan mencari namaku baik-baik.

Keira Stanley... Keira Stanley...

Itu dia!

Kamar 7 di lantai keempat asrama biru. Aku melihat nama-nama perempuan yang akan menjadi teman seasramaku dan langsung membuka mulutku, “Namamu Floretta Chandra?” Aku menolehkan kepalaku kepada Flo yang dibalasnya dengan anggukan. Jika kalian berpikir aku sekamar dengan Flo, kalian salah. Kamar kami bersebelahan. Dia terdata di ruangan 8.

Jika kuperhatikan, terdapat 5 orang dalam satu kamar asramaku, sedangkan 4 orang untuk asrama oranye, dan 2 hingga 3 orang untuk asrama hitam. Dengan jumlah kamar yang sama, dapat dipastikan asramaku akan memiliki anggota terbanyak. Aku berpikir mengapa anggota setiap asrama tidak disamakan saja, tapi tentu tidak ada yang dapat menjawabku jika aku bertanya pada peserta yang lain.

“Kita pergi sekarang?” tanya Flo kepadaku, aku akan mengangguk saat mengingat sesuatu. Aku menoleh dan bertanya kepada teman-temanku, “Kalian di asrama mana?”

“Biru.” Aku mengangkat alisku saat Dane, Nic, dan Clove berada di asrama yang sama denganku, sedangkan Raina menjawab dirinya ditempatkan di asrama oranye.

“Kalian mau ikut denganku? Aku dan Flo akan pergi ke asrama Biru sekarang.” Ketiganya mengangguk dan bangkit berdiri mengikutiku. Raina kami tinggalkan bersama beberapa kawan Flo yang juga mendapat asrama oranye.

Asrama biru terletak paling jauh dari aula utama, membutuhan beberapa saat untuk sampai ke depan gedung asramaku. Jika kulihat lagi, ternyata bagian pintu kayu yang menjadi pintu masuk asrama memang telah dicat sesuai dengan nama asrama, begitulah setidaknya yang kulihat saat aku melewati asrama hitam.

Bruk!

“Maaf... Aku tidak melihatmu.”

Rasa sakit menyengat seketika saat aku terjatuh di jalanan beraspal. Lelaki yang tadinya menabrakku langsung mengulurkan tangannya untuk menolongku. Kusambut tangannya lalu kubersihkan bagian belakang rokku. “Kau tidak terluka, kan?” Aku mengamati sekujur lengan dan kakiku sebelum menggeleng.

“Syukurlah, aku permisi.” Lelaki itu membenarkan kacamatanya sebelum berlalu dari hadapan kami. Aku hanya dapat berdecak dan menggelengkan kepalaku heran. “Dia dari asrama mana?” tanya Dane pada Clove dengan wajah penuh wibawanya yang tetap bertahan.

“Oranye.” balas Clove singkat.

“Clove, sudah kuperingatkan berhati-hatilah dengan kemampuanmu! Jangan menggunakannya sembarangan.” ucap Nic kesal.

“Kau mengetahuinya secepat itu? Sungguh luar biasa.” Dane tampak takjub.

Clove menggerutu sembari menunjuk pintu asrama oranye, “Aku melihatnya masuk ke pintu itu, dasar bodoh.” Dane langsung memukul puncak kepala Clove, “Siapa kau mengataiku bodoh, hah?”

Sepertinya mereka akan menjadi akrab karena program ini.

★★★

Aku tiba di depan pintu biru yang sama besarnya dengan pintu aula utama, dan saat memasukinya, terdapat ruang makan dengan empat baris meja dan kursi panjang seperti yang terdapat dalam film fantasi Harry Potter. Menakjubkan dan sangat berbeda dari nuansa perkotaan di masa kini. Mungkin konsep bangunan Genetorium memang seperti ini, atau mungkin mereka terinspirasi dari film fantasi Harry Potter? Entahlah, pemikiranku sungguh tidak penting.

Di ujung barisan-barisan meja makan, terdapat sebuah panggung kecil, sepertinya untuk menyampaikan hal-hal mengenai asrama ini karena kulihat seorang lelaki tambun sudah berdiri tegap di balik podium dengan senyum ramahnya menatap kami semua.

The GeneticsWhere stories live. Discover now