Izin Keluar

463 40 3
                                    

Sepanjang jam pelajaran hingga waktu istirahat, Kay mencoba meyakinkanku untuk tidak terlalu memikirkan perkataannya tadi, tetapi mana bisa? Aku terus berpikir untuk tidak menghadiri panggilan itu. Aku terus menerus bertanya kepada diriku tentang beribu hal yang bahkan aku sendiri tidak tahu jawabannya.

“Ini hanya terjadi sekali, Kei. Lagipula, bisa saja itu dilebih-lebihkan seiring turun temurunnya cerita. Kau tidak perlu cemas dan lihat saja bagaimana program itu berlangsung. Aku percaya kau akan baik-baik saja.” ujar Kay.

“Darimana kau tahu aku akan baik-baik saja?”

“Aku percaya kau cukup gesit dan dapat menggunakan otak brilianmu dalam keadaan darurat. Jadi tenang saja, oke?” Aku mengangguk saja, mencoba menenangkan diriku.

Aku sadar bahwa aku adalah pribadi yang cukup perhatian terhadap ucapan orang lain, jadi mungkin saja ini hanya salah satu saat dimana perkataan orang mengambil alih pikiranku. Oh, ini sungguh hal yang harus aku kurangi dari dalam diriku!

★★★

Setelah bel masuk berbunyi, aku berjalan keluar kelas, menyusuri koridor yang sepi dari siswa. Aku dapat mendengar beberapa kelas memberi salam kepada guru mata pelajaran yang beru saja memasuki kelas. Tujuanku adalah perpustakaan, tempat yang diinstruksikan dalam surat izin keluar. Perpustakaan adalah bangunan pusat dari sekolahku selain aula pertemuan utama.

Sekolahku merupakan salah satu yang terbaik di wilayahku, salah satunya karena kami memiliki jurusan sekolah dan kejuruan.

Jurusan sekolah normal dapat disebut Senior Class dan jurusan kejuruan sering disebut sebagai Voca Class. Aku adalah siswa dari Senior Class. Pemisah kedua jurusan ini adalah perpustakaan dan aula pertemuan utama. Jadi jika ada panggilan ke perpustakaan atau pertemuan di aula utama, hampir dapat dipastikan bahwa hal ini mencakup benar-benar seluruh siswa di Marine High School.

Cukup jauh aku berjalan hingga aku bertemu dengan seorang lelaki tepat di depan pintu perpustakaan. Lelaki berjaket itu menatapku dan tersenyum. “Panggilan dari Genetics juga?” tanyanya sambil mendorong pintu masuk dan mempersilahkanku masuk terlebih dahulu. Sungguh pria baik.

Aku mengangguk dan membenarkan kacamataku. “Kau juga?” Ia mengangguk menanggapinya, lalu mendadak memperkenalkan diri.

“Aku Nicholas. Kau dapat memanggilku Nic. Senior Class program bahasa, dan sepertinya kau dari program sains.” Aku mengangguk.

“Kau mengenalku?” tanyaku sembari melangkah naik menuju lantai dua perpustakaan, tempat pertemuan diadakan.

Lelaki itu tampak sedikit ragu, sebelum Ia mengeluarkan sebuah pulpen dari kantong jaketnya. “Aku hanya melihat dari penampilanmu. Berkacamata dan berambut panjang, berpakaian rapi. Tampak seperti siswa jurusan sains bagiku.”

Ia melanjutkan, “Penamu terjatuh, aku tepat berada di belakangmu tadi.”

Aku tertawa kecil, “Tidak semuanya seperti itu, kau hanya terbawa stereotip lama.” Ia tersenyum menanggapi. “Terima kasih untuk penanya. Untung kau mengambilkannya. Jika tidak, aku harus membeli pena baru lagi. Pena ini baru saja kubeli tadi pa—“

Kenapa aku malah berbicara soal pena baru? Sama sekali tidak penting.

Nic tertawa melihatku menghentikan ucapanku, “Kau manis juga.” Ucapannya mungkin akan membuatku tersipu jika Ia tidak segera mengalihkan topik. Untungnya Ia segera mengalihkan pembicaraan kami.

“Wah! Sebenarnya sepenting apa program ini, bahkan Pak Franz hadir untuk memberi arahan langsung.” tunjuknya ke salah satu sudut perpustakaan. Sepertinya kami berdua adalah yang terakhir hadir, karena aku dapat melihat tiga anak lainnya telah duduk rapih di hadapan Pak Franz sang kepala sekolah dan beberapa guru serta staf sekolah yang juga tampak disana.

The GeneticsWhere stories live. Discover now