Sehari Sebelum Keberangkatan

273 34 0
                                    

Tidak ada hal khusus yang terjadi selain seluruh teman yang kukenal mengucapkan selamat dan mendoakan keselamatanku selama perjalanan menuju lokasi karantina besok. Bahkan Kay selalu mengucapkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, yang malah terus membuatku teringat mengenai ceritanya.

Pada jam pelajaran terakhir, Pak Franz mengetuk pintu kelas dan memanggilku sejenak untuk keluar kelas. Saat ini aku berada di hadapan sang kepala sekolah setelah mengucapkan permisi kepada guru matematikaku untuk keluar. “Ada apa, Pak?”

Pak Franz tersenyum, “Tidak ada apa-apa, saya hanya memberikan selamat kepada kalian sekali lagi, dan ini.” Pak Franz memberikan sebuah pena kepadaku. Tampak lumayan mewah jika dilihat dari warnanya yang hitam mengkilat dan bahan pembuatnya yang jelas besi antikarat. Di badan pena tersebut, tertulis

'Keira-Marine High School-The Genetics-34'.

“Saya sengaja membuatnya untuk kalian berlima. Pena ini memiliki sesuatu yang spesial.” Pak Franz menekan pena itu 3 kali dan tampak warna biru gelap bersinar dari bagian yang tadinya ditekan. “Pena ini dapat digunakan sebagai rekaman, luar biasa bukan?”

Aku mengangguk cepat dengan takjub, ternyata ada teknologi seperti ini di dunia nyata. “Jika kamu menekannya tepat 3 kali dengan cepat, pena ini akan merekam dan jika kamu menekannya sekali, pena ini akan berhenti merekam.” jelas Pak Franz lebih lanjut. Aku mengangguk mengerti.

“Satu lagi, jika kau menekannya 2 kali, kamu dapat berkomunikasi dengan siswa lain yang memiliki pena ini juga. Siapapun yang berasal dari sekolah ini.” tutup laki-laki itu.

“Tapi kenapa Bapak memberi saya ini?” tanyaku penasaran.

Pak Franz menjawab, “Tidak ada alasan khusus. Saya hanya ingin memberi benda yang sama kepada perwakilan sekolah ini.” Lagi-lagi aku mengangguk.

“Satu lagi Keira,” lanjut Pak Franz sedetik kemudian, “Jaga dirimu baik-baik disana. Jangan terlalu banyak bertanya dan penasaran karena hal itu bisa saja membawamu pada masalah.” Pak Franz menepuk bahuku sebelum memintaku kembali ke kelas dan meninggalkanku.

★★★

Jam 3 sore dan saat ini hujan lebat, seharusnya aku pulang cepat hari ini karena akan berangkat besok, namun aku malah duduk di kursi yang ada di dekat gerbang sekolah untuk berteduh bersama dengan anak-anak lainnya yang semakin sedikit karena telah mendapat jemputan atau memesan kendaraan online.

Salahkan saja sifat pelupa yang hari ini tiba-tiba menyerangku, sampai-sampai aku tidak membawa ponsel dan payungku.

Jam tanganku menunjukkan pukul 5 sore dan hujan masih turun. Walaupun sudah lebih reda, namun gerimisnya masih sangat banyak, aku tidak bisa berlari menembus gerimis sebanyak ini. Aku menunduk dan melihat kakiku yang bersepatu hitam lalu menggerakkan kakiku pelan, menganggapnya tontonan saat hujan.

Aku tiba-tiba teringat pena yang diberikan oleh Pak Franz.
Aku mengeluarkannya dari sakuku dan menatapnya lama sembari memutar-mutarnya, sebelum kudengar suara dari sampingku, “Kau juga mendapatkannya, kan?” Penaku terjatuh seketika.

Nic! Astaga, jika dia bukan manusia, pasti menggentayangi orang lain akan menjadi hobi yang menyenangkan baginya. “Kau mengejutkanku.”

“Kau belum pulang? Tidak membawa payung?” tebakan Nic selalu tepat. Aku menerima penaku yang diambilkannya sambil mengangguk. “Mau kuantar?” tawarnya sambil menggoyangkan payung di tangan kirinya. Aku adalah orang yang tidak terlalu bergengsi tinggi, dan karena aku sudah mengenalnya, tidak butuh waktu lama untukku mengangguk.

“Baiklah, ayo!” serunya bersemangat. Lelaki setampan Nic memang tampak lebih tampan lagi saat bersemangat. Aku bergabung dalam payungnya yang cukup lebar untuk berdua.

“Kemana arah rumahmu?” tanyanya saat kamu berada di perempatan jalan. Aku menatapnya yang berada di kananku sambil merentangkan tangan kiriku, menunjuk arah kiri.
“Astaga!”

Aku menoleh ke sebelah kiri saat melihat seorang perempuan tidak sengaja terpukul ringan oleh tangan kiriku. “Maaf, aku tidak sengaja.” Perempuan itu menunduk dan mengambil pena yang sedari tadi kubawa dan terjatuh saat tangan kiriku bertemu dengan tubuhnya.

“Kak Arin?” Ternyata aku mengenalnya, kakak tingkat yang bersamaku saat sharing masa orientasi. “Kamu The Genetics?” Kak Arin mengabaikan sapaanku dan langsung bertanya dengan wajah tidak suka, tepat setelah Ia membaca tulisan di tubuh penaku.

“Iya. Ada apa, Kak?”

Kak Arin menatapku dalam, “Jangan berangkat kesana.”

Nadanya sangat serius, saat menyadari ada Nic di sampingku, Kak Arin mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik, “Bibiku menjadi gila karena program tersebut 15 tahun yang lalu. Kamu harus mengundurkan diri sekarang, dan harus sangat berhati-hati jika memang tidak dapat mundur dari program sialan itu.”

Sebelum aku sempat mengatakan apapun, Kak Arin menyerahkan pena itu kepadaku dan berjalan cepat berlawanan denganku, Ia berbalik arah. Aku memandang Nic bingung. Sungguh tidak mengerti, tetapi Nic dengan lembut mengatakan, “Jadi, kita ke kiri?”

Aku mengangguk dalam diamku. Sepanjang jalan menuju rumahku, aku hanya berjalan dan Nic seperti ojek payung yang setia memayungiku. Sesampainya di depan rumahku, barulah Nic membuka mulutnya, “Tadi itu siapa?”

Aku menatap Nic dan menjelaskan semuanya, mulai dari siapa itu Kak Arin, cerita Kay, pertanyaanku kepada Bu Fera, hingga peringatan Pak Franz kepadaku. Nic terdiam sejenak sebelum berkata, “Aku sungguh tidak mengerti. Aku tahu soal kisah siswi itu dan aku tidak menyangka kau akan menanyakannya kepada Bu Fera kemarin,”

Nic melanjutkan ucapannya, "Tetapi bukannya kau menanyakannya kepada Bu Fera dengan 'dua dekade yang lalu'? Tetapi kenapa perempuan tadi mengatakan 15 tahun?"

Aku menjawab dengan pemikiran sederhana, "Mungkin saja rumor tersebar dari mulut ke mulut dan ceritanya mengalami perubahan sedikit demi sedikit dari tiap mulutnya."

Nic menjentikkan jarinya, "Kau sendiri yang berkata hal ini barusan. Bisa jadi bukan hanya waktunya, peristiwanya juga mengalami perubahan. Kau mengerti maksudku, bukan?"

Keraguan masih saja memenuhi benakku, "Tetapi," Aku memutar ulang kata-kata Kak Arin dalam memori, "Jelas tidak ada perubahan peristiwa dengan yang Kay ceritakan, jika membandingkannya dengan cerita Kak Arin."

Nic terdiam sesaat, "Baiklah. Katakanlah hal itu memang terjadi. Tidak menutup kemungkinan jika kejadian itu hanya kebetulan dan keraguan hanyalah kekhawatiranmu semata."

Lelaki itu berdehem, "Jadi? Apa kau akan tetap pergi?”

Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya mengambil nafas dalam dan mengangguk. “Kita tidak punya pilihan lain, kan?” tanyaku yang dibalas Nic dengan gelengan.

★★★

Vote and comments yaa...

Callista

The GeneticsWhere stories live. Discover now