6. Genggaman

3.7K 450 62
                                    

Selama kamu ada kamu tidak boleh membiarkan tangan aku menggantung sendiri tanpa genggaman

-----

"Kunci mobil" kataku sambil mengulurkan telapak tangan kanan di depan Raka.

Pria berkemeja biru muda itu tersenyum. Ia mengangkat kepalanya untuk menatapku yang di awal tadi sedang memasang sepatu.

Ia berdiri. Tangan kirinya terulur mengambil kunci di tanganku dan tangan kanannya mencubit sebentar pipiku yang aku balas tatapan galak.

"Terimakasih. Aku sampai lupa" katanya, mengabaikan tatapan galakku. "Benar hari ini kamu tidak punya rencana keluar?" Lagi pertanyaan sama untuk ketiga kalinya. 

Aku langsung membuang nafas frustasi. Aku menatap Raka dalam. "Ngak ada, Ka!" Tegasku.

Raka mengangguk. "Aku cuman takut kalau kamu punya rencana keluar dan ngak bisa antar kamu"

"Perhatian banget sih" godaku menggelitik pinggangnya yang langsung di tahan.

Raka mengapit leherku membuat aku terjebak dalam rangkulan pria itu. Dari bawah aku memandang wajah Raka. Dilihat dari sudut manapun Raka masih selalu rupawan. Tidak seperti aku yang hanya terlihat mancung saat di pandang dari sisi samping.

"Kamu mau nitip desain khusus untuk kafe?" Ia bertanya.

Memang Raka lagi berencana mengubah interior kafe. Tidak semua cabang, hanya di Jakarta dan Bogor sebab hanya cabang itu yang sudah lumayan lama berdiri. Beberapa cabang lain Raka bilang baru merintisnya dua tahun lalu. Aku jadi sedikit menyesal tidak dapat berdiri disamping Raka saat ia sedang berusaha membangun karir. Padahal tempatku ada di sana namun aku yang meninggalkannya.

"Aku mau foto pernikahan kita ada di kafe, Ka"

"Untuk apa?"

"Biar tamu yang datang bisa tau kalau kamu sudah nikah. Kata Mas Joni banyak yang bilang kamu lajang" jujurku dan menampakkan secara jelas ekspresi tidak suka.

Raka langsung membebaskan aku dari rangkulan dan bisa kembali berdiri tegak. Tapi wajahku tidak bisa bohong kalau aku sering cemburu saat Mas Joni bilang banyak pendatang kafe yang menganggap Raka lajang. Bahkan kata Mas Joni tidak jarang beberapa orang menanyakan nomor Raka secara terang-terangan ke pegawai Kafe.

"Orang yang lihat aku pasti berpikir kalau aku belum menikah" dia malah semakin membuat aku kesal.

"Bukan cuman kamu, tapi aku juga di mata orang yang ngak kenal pasti lihat aku belum nikah" kataku tidak mau kalah.

"Makannya aku ngak mau kamu jalan sendiri. Aku khawatir orang-orang berusaha dekatin kamu" katanya.

Ini aku lagi aksi berusaha mempertahankan wajah kesal. Andai tidak, maka akan aku peluk langsung Raka karena mengucapkan kalimat seperti itu. Aku selalu suka jika Raka terang-terangan mengungkapkan kecemburuan.

"Tapi untuk kamu tidak perlu khawatir. Orang-orang mungkin bisa memandang aku belum menjadi seorang suami, tapi aku selalu ingat dengan status aku. Bahkan empat tahun kita hidup masing-masing tidak pernah sedetik pun aku lupakan kalau aku sudah menikah. Aku serius" katanya sangat bersungguh-sungguh.

Kali ini aku sudah tidak bisa mempertahankan sedetik lebih lama wajah kesalku. Aku langsung memeluk Raka dengan senyum lebar sampai membuat pria itu kaget. Segitunya aku jarang bersikap romantis ke suamiku ini. Aku peluk saja ia sudah kaget.

"Kamu udah telat, Ka. Sudah sepuluh menit yang lalu telatnya" kekehku.

Ia langsung melihat jam tangan. "Waktu memang berputar cepat saat kita habiskan dengan orang yang kita cinta" ia mengelus puncak kepalaku. "Aku pergi yah, ingat untuk kunci pintu. Kamu sering lupa"

BAB II - Assalamualaikum Ketua RohisWhere stories live. Discover now