19. Pulang

353 67 15
                                    

Bahwa definisi pulang tak selalu sama

-----

Jam dinding di atas televisi berotasi tanpa henti. Jarum panjang hitam itu kini menunjuk angka 12 siang. Senyum ku semakin lebar, senandung irama tidak jelasku semakin riang nyaring. Ahh, suamiku akan pulang. Lima malam tidak aku pandang mata teduh dan senyum manisnya secara langsung. Paling penting tidak aku lihat mata lelapnya ketika tidur dan ucapan i love you untukku setiap pagi. Aku merindukan semua hal tentang Raka.

Semalam ia bilang akan pulang dengan naik travel bersama Aida hari ini. Banyaknya barang Aida mengharuskan mereka menempuh perjalanan darat. Aku tatap crepes cake buatanku di atas meja. Tidak buruk walau belum sesempurna toko kue terkenal. Khusus untuk Raka aku buatkan kue manis sesuai dengan kegemarannya yang menyukai makanan manis.

Oh iya, pagi ini aku sudah berada di rumah. Memang Raka melarang aku pulang dan ingin menjemput langsung di rumah Bunda. Tetapi sehabis subuh tadi aku meminta izin, dengan sedikit paksaan bahwa aku ingin pulang. Sebab Mbak Ayu memberi aku kabar angin kencang jam 2 dini hari tadi membuat halaman rumah berantakan. Bukan karena halaman saja yang berantakan tapi aku ingin mengecek keadaan rumah lebih jelas. Jelas saja negosiasi izin ku dengan Raka sangat sulit. Untung ada Ghandi yang siap selalu aku jadikan jaminan keamanan.

Alunan surah pendek dari masjid mulai terdengar dari pengeras suara. Senyumku semakin mekar. Aku bergegas naik ke lantai dua untuk mandi. Membersihkan diri dari keringat berkat aktivitas dapur. Masih ada satu pekerjaan ku sebelum Raka pulang. Aku masih harus memanaskan makan siang.

Jam satu aku turun kembali terburu-buru memasuki dapur, memanaskan makanan, dan menyajikannya bergabung dengan crape cake yang tertata rapi. Tidak berhenti aku lirik jam dinding ataupun ponselku. Kenapa belum ada kabar bahwa Raka telah sampai di Jakarta. Kenapa ia belum mengetuk pintu rumah tanda ia sudah pulang. Tadi pagi ia bilang akan sampai di jam makan siang. Tidak bisa aku tutupi aku sedikit gelisah.

Berjalan ke ruang tamu dan duduk mengamati pintu dengan lekat. Pandanganku tidak bisa lepas dari pintu kayu setinggi 180 cm di hadapanku. Atau saraf auditori ku yang berusaha fokus menantikan suara pagar terbuka. Sesekali ketika mobil lewat aku bangun dan mengintip dari jendela berharap itu suamiku. Tapi nihil, nafas panjang pereda khawatir terhembus.

"Kemana kamu, Ka?" Batinku, beribu kali berucap demikian.

Jarum panjang menunjuk angka 3, tiga jam pula waktu molornya Raka sampai. Apa Aida sebegitu banyaknya membawa barang hingga Raka kesulitan mengatur barang Aida? Iya benar seperti itu, perempuan dengan segala keribentannya sering kali memberatkan pria. Aku yakinkan hatiku agar ia redah melalui asumsi itu.

"Rey..." Merdu panggilan namaku di balik pintu dengan ketukan membuyarkan lamungan.

Senyumku kembali mengembang. Dia sudah pulang. Tidak apa-apa rasa khawatir tadi selama ia baik-baik saja. Aku tidak akan marah sebab ia membuatku gelisah.

"Loh, kok?" Kejutku.

"Kamu ada ketinggalan barang, Ghand?" Tanyaku. Pakaian Ghandi sudah berubah tidak sama seperti saat mengantarku pagi tadi.

Ku tatap wajahnya yang ikut menatap wajahku. Bola matanya gelisah, tidak begitu fokus.

"Ada apa?" Tanyaku lagi.

"Kamu lagi masak ngak, Rey?" Akhirnya Ghandi bersuara.

Keningku mengerut bingung. "Ngak, tapi kalau kamu mau makan aku ada makanan tadi habis masak"

"Kalau pintu belakang sudah kamu kunci?" Lagi pertanyaan aneh keduanya.

Kepalaku miring sedikit berpikir. Pintu itu belum aku buka jadi pasti masih terkunci.

BAB II - Assalamualaikum Ketua RohisOnde histórias criam vida. Descubra agora