24. Lost

375K 35.1K 41.6K
                                    

🎢🏝 welcome to radenland! 🎡🎠

🎢🏝 welcome to radenland! 🎡🎠

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

24. Lost

Ragas bingung, tiba-tiba otaknya blank sampai tidak tau harus melakukan apa usai ia dengar percakapan Bunda di dapur tadi.

Dia hanya menuruti perintah Bunda yang menyuruhnya makan siang. Setelah itu, Ragas lebih banyak diam karena ia sedang perang dengan pikiran sendiri. Ragas bertanya-tanya, apa yang sebenarnya Bunda bahas.

Ditambah lagi Bunda berpamitan ke kamar buat istirahat. Peluang Ragas untuk membicarakan hal serius makin menipis.

Sesudah selesai makan, Ragas mendatangi Bunda di kamar. Ia mengetuk pintu sampai terdengar sahutan Bunda yang menyuruhnya masuk.

"Bun," panggil Ragas.

"Agas." Bunda tersenyum, beliau mengubah posisi tidur menjadi duduk.

"Bunda tiduran aja, gapapa," kata Ragas, "Aku cuma mau ijin."

"Abang mau izin apa?" tanya Bunda.

Abang adalah panggilan sayang Ragas ketika ia masih kecil. Bahkan ketika Langit belum dibuat, orang tuanya sudah memanggil Ragas dengan sebutan itu.

Tapi karena Ragas sejak dulu menyebut namanya tanpa huruf R, jadilah sampai besar ia dipanggil Agas oleh keluarga dan orang-orang terdekat.

Berbeda dengan Langit. Sewaktu Langit memasuki usia dua tahun, ia kesulitan menyebut namanya sendiri. Ayah maupun Bunda selalu memanggilnya Langit, tapi anak itu akan meniru dengan menyebut "Ai".

"Mau pergi ya?" Bunda bertanya lagi.

Ragas mengangguk. "Agas ke luar bentar ya, Bun. Bunda mau dibawain apa entar?"

Bunda terkekeh kecil. "Bunda maunya kamu jangan pergi lama-lama. Ga boleh mabok, itu paling utama."

Ragas tertawa, mulutnya terbuka lebar. "Oke, Ibu Negara! Nggak mabok-mabokan. Nggak pulang telat."

"Bener ya?" Bunda meminta kepastian, ia tak mau anaknya ingkar.

"Bener dong!" sahut Ragas.

Ragas memutar-mutar kunci motor di tangan kiri, lalu ia membungkuk untuk menyalami tangan Bunda. Ia berkata, "Agas pergi dulu."

"Hati-hati, Sayang," sahut Bunda.

"Oke, Sayang...." Ragas membalas seraya keluar dari kamar itu. Ucapannya bikin Bunda tertawa.

Ketika tiba di depan rumah, Ragas menghampiri motornya yang terparkir di garasi. Motor ini ia anggap sebagai pacar, ia selalu merawatnya dengan baik. Motor ini juga yang menjadi saksi keberingasan Ragas di jalanan.

Ragas menunggang pacarnya, menusuk kunci tepat di lobang. Senyumnya mengembang bersamaan mesin itu menyala.

Derum motor berbunyi, mengisi kesunyian kawasan rumah. Ragas pergi, meninggalkan Bunda sendiri. Bukan maksud Ragas tega melakukan itu, tapi ia butuh seseorang untuk membantunya mencari jawaban atas keresahan yang tengah ia alami.

ALAÏA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang