49. DARE

236 49 2
                                    

"He no longer has the right to just forbid many things to him."

****

Bara mengamati sebuah jam tangan yang berada di atas meja. Mereka sama-sama mengamati jam itu seperti yang dilakukan oleh Bara. Reysa datang, membawa beberapa minuman dari arah dapur yang dibantu oleh Frans.

Gadis itu mengambil duduk di sebelah Devan. Laki-laki itu terlihat tak peduli dengan apa yang tengah mereka lakukan. Mengapa itu harus terjadi padanya? Padahal ia sendiri tidak pernah melakukan kesalahan apapun.

Reysa menepuk paha laki-laki itu beberapa kali. "Gue aja nggak terlalu ngurusin kaya gitu, Dev. Ngapain juga pusing-pusing mikirin yang nggak penting?"

Devan menoleh, mendapati senyuman menawan milik Reysa yang membuat ia merasa lebih tenang dari sebelumnya. "Padahal gue udah mikir, kalo Stella itu orang yang pas buat bersanding sama gue."

Semua orang tahu, laki-laki playboy itu selalu tak peduli dengan gadis yang disakiti oleh Devan. Entah mengapa, dengan Stella laki-laki itu berubah drastis. Malah sekarang, laki-laki itu tidak pernah dekat dengan siapapun kecuali Stella.

Reysa merangkul laki-laki itu, mencoba memberi semangat. "Masa Devan jadi sadboy gini, sih? Oh, ayolah, Devan yang gue kenal nggak pernah kaya gini."

"Gue juga manusia kali, Cha."

Reysa tergelak, melepas rangkulannya dan meraih satu buah botol minuman yang tadi ia ambil dari dapur. Ia membuka penutupnya, lalu memberikannya pada Devan. "Nih, biar otak lo dingin."

Devan menerimanya. Laki-laki itu mulai menenggak minuman itu hingga tersisa setengah botol.

"Stella nggak pernah nanya macem-macem kan sama lo, Dev?" tanya Frans yang sedari tadi memperhatikan Devan yang sedang galau berat.

Devan menoleh, mendapati wajah penasaran milik Frans yang tidak seperti biasanya. Biasanya Frans akan selalu diam dan membiarkan semuanya seperti itu.

Devan berdehem, lalu mulai memikirkan apa yang pernah Stella tanyakan. "Ah, ada."

"Apa?"

Mereka mulai penasaran pertanyaan apa yang dilontarkan oleh Stella. "Waktu itu gue lupa lagi bahas apaan. Tapi Stella nanya, Echa punya kelemahan atau enggak."

"Terus, lo bilang apa?"

Devan terdiam sejenak sembari memperhatikan wajah penasaran mereka secara bergantian. "Gue... nggak bilang apa-apa. Soalnya pas itu, Echa tiba-tiba telfon dan nggak sempet buat jawab."

Mereka bernapas lega. Pasti saat itu Stella sudah dekat dengan Bimo dan Fina. Tapi memang kedekatan mereka tidak pernah diketahui oleh banyak orang. Bahkan saat di sekolah, mereka terlihat tidak mengenal satu sama lain.

"Kayanya si Echa emang punya indera ke sepuluh. Makanya ngerasa kalo dia lagi diomongin sama si Devan."

Reysa melempar botol yang tengah di pegang oleh Devan ke arah Bara. Gadis itu berdecak kesal, merasa tidak terima karena perkataan Bara. "Belum pernah gue sambit pake cangkul lo, ya?"

Mereka tergelak. Akhir-akhir ini Reysa menjadi orang yang gampang sekali emosi. Bahkan tak segan-segan menendang siapa saja yang mengganggu gadis itu.

Ponsel Reysa bergetar, membuat gadis itu segera membukanya. Ada sebuah pesan dari nomor tidak kenal, ia segera melihatnya.

Unknow Number
Gue tantang lo balapan malam ini
di jalan deket perempatan yang
biasa buat balap liar.

DISPARAÎTRE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang