33. WAITING & A DISSAPOINTMENT

222 45 2
                                    

"There is only a lie in every word that can always be believed."

****

Sorot senja yang temaram begitu memanjakan mata. Tak kalah cantiknya, jajaran gedung yang mulai berkilauan karena hari mulai sore. Lampu jalanan mulai menyala menyorot jalanan yang ramai. Pinggiran air mancur terlihat merelang karena jajaran lampu tumbler yang saling berkedip.

Beberapa penjual angkringan tampak mempersiapkan dagangan mereka. Tidak ketinggalan pula penjual gorengan dan beberapa martabak ataupun makanan terjangkau lainnya. Dengan telaten, mereka memasang tenda serta menunggu para pembeli datang untuk membeli.

Angin tidak terlalu dingin nampak menyusup ke celah rambut, dan menerbangkan beberapa helaiannya. Sore ini, Renald mengajak Reysa untuk jalan-jalan. Sekedar keliling Jakarta, dan singgah untuk makan malam. Atau menikmati orang yang saling berlalu lalang di taman kota.

Reysa melirik arlojinya ketika Renald belum juga sampai ditempatnya. Padahal ia sudah lama berdiri di depan minimarket untuk menunggu laki-laki itu. Tadi niat Renald akan menjemputnya ke rumah, namun ia sedang di rumah Bara dan kebetulan tengah membeli sesuatu di minimarket. Dan tiba-tiba, Renald memberitahu bahwa laki-laki itu akan mengajaknya jalan-jalan. Ia juga tidak mungkin pulang, jadi ia meminta Renald untuk menjemputnya disini. Dan menyuruh Bara pulang lebih dulu.

Namun, sudah tiga puluh menit lebih laki-laki itu belum juga menampakkan diri. Ia celingukan untuk mengecek laki-laki itu sudah datang apa belum. Namun, seperti tadi, laki-laki itu belum menampakan diri. Tapi mungkin Renald sedang menuju ke sini. Lagi pula, jarak rumah Renald dengan minimarket ini cukup jauh. Mungkin saja terjebak macet atau yang lainnya.

Dari pada ia malu sedari tadi banyak orang yang memandangnya, lebih baik ia menunggu di depan sana. Di depan ruko yang sudah tutup. Ia memilih duduk di atas anak tangga, sembari mengusap lengannya. Semilir angin dingin mampu membuat tubuhnya merinding seketika.

"Cha?"

Mungkin setiap orang akan sangat risih dengan kehadirannya. Begitu juga dengan Reysa, rasanya ia risih dan merasa geram karena kedatangan seorang laki-laki yang dulu pernah mengisi hatinya. Dia Bimo, tengah berdiri sembari memandang Reysa sendu dan teduh. Aura dari laki-laki tampak sekali seperti tengah bersedih. Reysa akhirnya berdiri, belum sempat ia berbicara pada laki-laki itu, Bimo lebih dulu bersuara.

"Orang tua gue cerai."

Hal yang Reysa mengerti dari Bimo adalah, laki-laki itu selalu merasa kesepian. Orang tuanya selalu sibuk sampai-sampai anaknya itu mengeluh padanya, dulu. Setiap kali ia bersama laki-laki itu, hal pertama yang diceritakan Bimo adalah kedua orang tuanya. Memang kehidupan Bimo semua tercukupi, semua yang diinginkan Bimo pasti selalu dituruti. Namun, semua anak pasti menginginkan kehangatan dan memposisikan mereka sebagai orang tua yang menyayangi Bimo.

Reysa hanya tidak paham, mengapa Bimo mengatakan itu padanya. Padahal hubungan mereka sudah berakhir setahun yang lalu. Bahwa ia sudah tidak ada urusan lagi dengan laki-laki itu. Bahkan untuk masalah apapun itu.

Dengan sinar lampu temaram, Reysa masih bisa melihat dengan jelas bahwa air mata Bimo mengalir begitu saja. Ada pancaran kesedihan yang teramat dalam, membuat laki-laki itu menitihkan air matanya begitu saja.

"Tapi kenapa lo nyarinya gue? Kita--"

"Cuman lo yang paham tentang gue, Cha. Segalanya tentang gue, cuman lo yang peduli. Walaupun sekarang mungkin," Bimo memberi jeda. Ia menunduk dalam, sampai air matanya meluncur bebas melewati hidung. "Lo nggak mungkin peduli sama gue." imbuhnya.

DISPARAÎTRE [END]Where stories live. Discover now