34. NERVOUS

188 44 0
                                    

"It hurts the most when everything she says is bullshit."

***

Apapun itu, Renald pasti tidak akan pernah mempercayai dalih yang dikatakan Reysa. Ia merasa dipermainkan oleh gadis itu. Jika itu termasuk balas dendam karena ia pernah membuat gadis itu diolok-olok oleh banyak orang, mengapa saat itu Reysa membantunya untuk membatalkan pertunangannya? Apa itu hanya akal-akalan Reysa untuk membuatnya percaya pada gadis itu? Tapi jika memang iya, lantas untuk alasan apa?

Di samping ranjang sembari duduk di lantai dingin, Renald tampak mendongak sembari bersandar pada pinggiran ranjang. Langit-langit kamar berubah memburam seiring dirinya mengaburkan pandangan. Fokusnya sekarang pada Reysa yang ternyata membohonginya. Haruskah ia memberontak dan menjauhi gadis itu? Bahkan hatinya takkan rela jika ia menjauhi Reysa. Ini terlalu sulit, bahkan ia sangat menyayangi gadis itu.

Butuh waktu untuk ia memahami apa yang baru saja ia lihat. Bagaimana Reysa dengan percaya diri berkata padanya, "Dia emang cinta pertama gue, tapi gue bahkan benci banget sama dia." Itu sama saja Reysa sedang membohonginya. Begitu pun ia yang merasa sangat terbodohi oleh ucapan gadis itu.

Ekor matanya melirik ponsel yang berdering diatas nakas. Alih-alih meraih dan menjawabnya, Renald hanya memandangnya tanpa mau mengangkat panggilan itu. Dari sana, ia bisa melihat nama yang tertera dilayar ponsel. Sampai panggilan kesepuluh pun, ia masih tetap diam ditempat sembari memandang ponsel yang menyala itu.

Perlahan Renald meluruskan pandangannya. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Mungkin saja Reysa sudah pulang, dan ia juga tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Pikirnya, Reysa sudah bersama sang mantan, jadi tidak ada yang perlu dicemaskan lagi.

Ting

Renald jelas marah, tapi jika sesuatu terjadi dengan Reysa, ia tidak akan pernah rela. Ini cukup malam, mengapa gadis itu terus mengganggunya? Apa mungkin Reysa masih disana? Dari pada ia merasa penasaran, lebih baik ia membuka isi pesan yang dikirim Reysa.

Reysa❤
Nggak jadi ya, Ren?
Kalo nggak jadi, gue pulang

Renald membogem keramik cukup keras. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Kembali dan mengantar pulang Reysa bukan pilihan terbaik. Berarti gadis itu akan menanyai banyak hal mengapa ia tidak menjemput gadis itu. Atau akan ada pertanyaan lain yang akan menjebaknya pada situasi sulit.

Reysa❤
Kenapa, Ren? Lo online loh, udah
diread juga.
Ada masalah? Ya udah, gue pulang aja

Gadis itu kembali mengiriminya pesan. Ia jadi bimbang, apa harus membiarkan Reysa atau ia ke sana dan mengantar gadis itu pulang. Ia marah, tapi juga khawatir dengan Reysa.

Satu panggilan masuk, dengan nama Reysa yang tertera dilayar itu. Ia menjawabnya, kemudian menempelkan benda tipis itu di depan telinganya. Sambutan khawatir dan juga suara bising dari kendaraan yang melewatinya tampak menyapa Renald.

"Ren, lo nggak kenapa-napa, kan?" nada khawatir Reysa begitu kentara diseberang sana. Yang membuat Renald berpikiran bahwa Reysa hanya berakting untuk mengelabuinya.

"Ren! Lo jangan diem aja dong!" Reysa sendiri mulai ketar-ketir di pinggir jalan. Sedari tadi Renald tidak menjawab panggilannya pun tidak membalas pesan yang dikirim tadi. Bahkan hanya membaca tanpa membalas.

"Lo kalo emang nggak bisa kabarin gue dong. Jangan malah diem aja dan biarin gue--"

"Harusnya yang marah tuh gue, Rey."

Perlu beberapa saat untuk ia berani mengatakan itu. Lalu Renald lebih memilih mematikan sambungan secara sepihak. Tidak ada yang perlu dibahas lagi, dan ia hanya ingin istirahat. Dan melupakan kejadian tidak mengenakan, walaupun sejenak.

****

Reysa termangu untuk beberapa saat. Ia menurunkan tangannya setelah Renald memutuskan sambungannya secara sepihak. Ia sedikit paham dengan maksud perkataan Renald tadi. Sepertinya tadi Renald sudah ke sini, dan--

--melihatnya berpelukan dengan Bimo. Reysa tidak berpikir panjang, bahwa ia akan bertemu Renald dan tidak seharusnya ia memeluk Bimo walaupun ia kasihan. Harusnya ia tidak membiarkan itu terjadi. Atau kalau perlu ia menghindar dari Bimo.

Reysa menjerit lirih seraya meremas udara. Ia geram sendiri dengan dirinya, mengapa tidak berpikir bahwa Renald akan melihatnya. Ia mengacak rambutnya frustasi. Kalau tahu akan begini, ia pasti akan senang melajang dan pastinya akan terbebas dari salah paham.

Reysa mendongak ketika merasakan tetesan air hujam mengenai hidungnya. Dan langit pun turut andil untuk mendinginkan pikirannya. Bukannya berteduh, gadis itu malah membiarkan tubuhnya basah oleh hujan. Tidak ada niatan juga untuk berteduh dan menunggu hujan reda. Itu tidak penting sama sekali dari pada masalahnya dengan Renald sekarang.

"Harusnya gue nggak usah kenal siapa-siapa!"

Dulu Reysa memang ingin memiliki banyak teman. Tapi semenjak kejadian tahun lalu, ia terlalu mual untuk sekedar mencari teman. Bahkan sebaik apapun teman, mereka tetap akan menceritakan aib kita. Padahal sudah diwanti-wanti agar tidak membocorkan pada siapapun. Tapi namanya mulut lemes, mana mungkin mereka tahan godaan untuk tidak menceritakannya pada siapapun.

Untuk sekedar mempercayainya saja, rasanya sudah tidak mungkin. Mereka juga terlalu meremehkan kepercayaan yang sudah kita beri. Dari pada menjaga, lebih baik menghancurkan. Itu mereka, yang membuat ia muak dengan siklus pertemanan.

"Harusnya gue sendiri aja!"

Mungkin kesendirian akan lebih asik. Sunyi tanpa suara apapun dan hanya ada ketenangan. Sampai tidak mengenal apapun, dan hanya ada kesendirian. Terbebas dari itu, ia akan hidup tenang dan damai tanpa adanya keributan yang berujung saling menjatuhkan.

Tubuhnya seolah kuat menahan dinginnya air hujan yang terus mengalir dari puncak kepala. Reysa masih berdiri ditempat semula dan menghadap ke jalanan yang mulai lenggang. Ia sendiri tidak tahu harus bagaimana sekarang. Ini seperti jalan buntu yang tidak bisa menempuh jalan keluar.

Semakin dirasakan, hujan semakin deras. Namun, ia hanya mendengar suara jatuhnya air hujan pada payung dan tubuhnya tidak diguyur oleh hujan lagi. Gadis itu menoleh, mendapati Veran yang tengah memegang gagang payung.

"Kenapa hujan-hujanan, Cha? Mau simulasi mati kedinginan?"

Veran memang selalu asal berbicara. Tak dapat dipungkiri laki-laki itu juga selalu baik padanya. "Iya."

Veran tahu, Reysa sedang tidak baik-baik saja. Terlihat dari tatapannya dan cara gadis itu membalas. Ia sangat yakin, gadis itu memiliki masalah yang membuat Reysa seperti ini sekarang. Dari pada ia juga ikut kedinginan disini, ia mengajak Reysa untuk masuk ke dalam mobil.

Reysa terus saja diam sembari memandang ke luar jendela. Ia ingin membiarkan gadis itu, tetapi hatinya meronta terus menyuruhnya untuk menanyakan sesuatu pada gadis itu.

"Ada masalah, Cha?"

Namun, tidak ada sahutan apapun dari gadis itu. Membuat Veran menyerah dan lebih memilih untuk fokus menyetir. Kalau sudah begini, ia Reysa akan terus seperti itu.

****

Tbc.




DISPARAÎTRE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang