Chapter 21. Oh... Adam...

25.4K 3.6K 1.2K
                                    

Cuma minta spam komen aja, kok...
Yang BANYAAAAAK 😂😂😂😂

***

Aku bisa merasakan ketegangan di antara kami sudah mengendur, kami tidak saling bicara, suasana senyap, aku tengah berjalan sendirian pada malam hari di hutan yang terang oleh cahaya bulan dalam lamunanku.

Adam meletakkan kedua tangannya di roda kemudi, aku selalu bertanya-tanya kenapa ia seperti hanya menyentuh saja dan mobil berada dalam kendalinya. Aku memegangnya erat-erat, tapi benda itu terus melawanku.

Kami berhenti di depan lampu jalan yang menyala merah.

Aku tidak berani melirik lebih tinggi dari batas siku Adam sekadar untuk memastikan bagaimana ekspresinya. Aneh sekali tidak mendengarnya merengek, atau marah-marah. Dia selalu merengek kalau mobil terlalu sunyi, atau dia akan tak peduli jika sedang marah. Saat ini aku merasa dia sudah tak marah, entah apa yang membuatku berpikir begitu. Mungkin sama denganku, dia tak ingin bersuara atau bergerak karena terlalu gugup. Dari tadi tanganku terkulai di atas pangkuan, untuk membenarkan rambut yang jatuh ke wajahku saja aku berpikir ratusan kali sebelum melakukannya.

Lampu berganti hijau.

Mulutku terasa kering, apa Adam akan bertanya lagi tentang hubungan kami sesampainya di rumah? Sekarang bukan hanya mulutku saja yang kering, kepalaku juga pusing. Aku sama sekali tidak berpikir saat kubilang tak bisa hidup tanpanya, tapi jelas aku tidak berbohong. Astaga, apa artinya kamu tak bisa hidup tanpanya, India? Apa kamu juga menginginkannya? Aku ingin membenturkan wajahku ke jendela, aku pasti sudah melakukannya kalau Adam tak di sebelahku.

Tunggu dulu.

Aku bukan pusing hanya karena itu, aku memang pusing. Saat mobil sedikit memantul gara-gara Adam menginjak rem mendadak, lambung kosongku tak keruan sekali rasanya. Mulutku meletup sampai harus kututup dengan dua tangan.

Konsentrasi Adam buyar, biasanya dia akan memaki pengendara motor yang berbelok tiba-tiba meski orang itu nggak bisa mendengarnya, dia memandang sekilas ke arahku sebelum kembali menatap ke depan.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya lembut.

Aku (sudah mulai terbiasa dengan caranya memanggil) menggeleng.

Sesudah memarkir mobil di garasi, Adam berjalan mendahului seperti biasa. Dia mengenakan jaket yang dipakainya meninggalkan rumah untuk menyembunyikan seragam Dimas yang kekecilan membalut tubuh besarnya. Dia tinggi sekali, aku harus mendongak untuk melihat tengkuk di balik kerah kemejanya. Rambutnya tercukur rapi, lehernya besar dan kokoh.

Mungkin kami akan terlihat normal kalau dia tak mengenakan seragam sekolah. Kami tidak menarik perhatian saat jalan-jalan di mall tempo hari. Kalau aku tidak bersikeras mengenakan busana kerjaku yang membosankan, kalau aku menambahkan sedikit warna pada diriku. Dulu aku suka warna-warni. Aku tak pernah membayangkan diriku mengenakan blazer cokelat tua dan menyembunyikan kulitku sepanjang hari dari sinar mentari. Dulu aku paling suka ke pantai, dulu aku senang berbelanja pakaian, dulu aku ingin menjadi model.

Dulu aku berwarna.

Dulu mungkin tak sulit buatku membayangkan mengencani bocah yang usianya jauh lebih muda dariku, kenapa tidak—"Aduh"—langkahku berhenti mendadak dan hampir menubruk lengan Adam. Kami sedang melintasi dapur sewaktu anak itu tahu-tahu berbelok. Aku mundur, Adam mengernyit tak paham melihatku terhuyung.

"Aku lapar," katanya.

Oh, secara memalukan, dalam hati aku lega mendengarnya bicara dengan nada yang biasa dipakainya kepadaku kalau sedang meminta sesuatu, agak manja, dan memelas. Aku menyembunyikan perasaan itu rapat-rapat, tentu saja, wajahku masih mengerut tak senang dengan perbuatannya. Kalau saja memori soal ciuman itu bisa dihapus, sekarang aku pasti sudah luluh, mungkin aku malah akan menambah uang jajan supaya dia nggak kabur lagi dari rumah. Tapi hal itu sudah terjadi, sampai kapanpun kami berdua tak akan pernah sama lagi.

My Younger BrotherWhere stories live. Discover now