Chapter 10. Topeng

19.6K 3.3K 458
                                    

Kalau kutahu Adam akan bersikap biasa saja seolah semalam tak terjadi apa-apa, aku nggak perlu tinggal di dalam kamar keesokan harinya sampai waktu berangkat ke acara keluarga tiba. Dengan santainya dia mengetuk pintu kamarku dan bertanya, "Kirain belum bangun, kalau kita nggak jadi pergi aku mau keluar sama Dimas."

Pipiku yang malah memerah dengan sendirinya begitu dia kembali menutup pintu.

Aku langsung mengecek laci meja kecilku, siapa tahu aku hanya salah sangka. Mungkin saja semalam dia hanya meminjam gunting kuku, selotip, atau apa. Tapi, tak ada yang tak berada di tempatnya. Namun akhirnya, aku berhasil mengalihkan perhatian dan bersiap-siap.

Kami berpapasan di dapur saat ia muncul dari pintu belakang yang menghubungkan dengan garasi. Aku bertanya singkat apa ia habis memanasi mesin mobil dan ia menjawab hanya dengan anggukan kepala. Sewaktu ia muncul lagi, aku mengernyit menyadari Adam mengenakan kemeja biru tua.

"Hari ini dresscode-nya merah, Dam," kataku.

"Hm," gumamnya.

"Udah kusiapin di dekat meja setrika," ujarku lagi. "Kemeja merah yang minggu lalu kubeliin. Aku udah minta kamu cobain dulu sebelum dimasukin ke mesin cuci. Udah kamu cobain belum waktu itu?"

Adamnya ngeloyor aja tanpa jawab apa-apa.

"Kekecilan," keluhnya saat kembali ke tempatku menunggu sambil menghabiskan setangkup roti.

Aku tak memberi tanggapan dan segera menghabiskan sarapanku yang kesiangan.

"Bisa nggak sih next time kalau beliin baju bilang-bilang? Ukuran badanku udah lama berubah," protesnya lagi.

Aku menggeleng dalam diam sambil meletakkan piring kotor ke kitchen sink. Sebaliknya, kurasa kemeja merah yang senada dengan dress semi resmiku pagi ini tampak sangat sempurna melekat di tubuhnya. Warna merahnya juga membuat wajahnya tampak lebih bercahaya.

Seolah tahu aku meragukan keluhannya, remaja bongsor itu berbalik menunjukkan punggungnya. Memang sedikit ketat kalau dilihat dari belakang, pikirku dalam hati. Seharusnya dia tidak tumbuh secepat itu, aku semakin merasa was-was tanpa sebab. Semakin ia dewasa, acara bulanan ini semakin menyekik leherku sedemikian rupa. Terlebih jika Adam bersikap tak kooperatif seperti ini.

Tak ingin meributkan baju dan memperkeruh suasana, sambil mengucurkan air dari keran kubilang, "Tahan aja sebentar."

"Aku nggak bisa napas!"

"Kalau kamu nggak bisa napas, dari tadi kamu udah pingsan," kataku pelan. "Bajunya kelihatan bagus dan pas, kok."

"Aku mau pakai kemeja yang tadi aja, ah."

Aku diam, pikiranku belum reda dari kecamuknya sejak semalam. Pikirku, terserah lah kalau dia mau pake apa aja. Niat awalku yang cuma mau menaruh piring di tempat cucian jadi benar-benar mencucinya buat melampiaskan kekesalan.

Untung Adam tak sungguh-sungguh. Melihatku malah mencuci piring setelah dia menyembur nekat, pemuda itu melintas lagi dengan kemeja merah yang sama setelah menghilang sebentar ke dalam. Wajahnya tentu saja ditekuk dan tak enak dipandang, aku ingin mengkritik tatanan rambutnya yang nggak serapi biasa kalau kami pergi ke acara keluarga, tapi tak sampai hati kusampaikan.

Di dalam perjalanan, kami nggak banyak bicara. Dia menyetir, membisu, tapi sesekali menunjukkan emosi kalau ada hambatan di jalan. Puncaknya, saat dia menurunkan kaca jendela mobil untuk memaki seorang pengendara motor yang nyelonong seenaknya. Aku marah dan memintanya menepikan mobil ke bahu jalan.

"Ya udah, kalau kamu nggak mau nemenin ke acara keluarga, sana pulang aja," sengalku tak tertahan. "Biar aku ke sana sendiri!"

"Yang bilang nggak mau tuh siapa?" balasnya tak mau kalah. "Kamu nggak lihat sedikit aja tadi motor itu hampir nabrak spion mobil kita?"

My Younger BrotherWhere stories live. Discover now