Chapter 13. Sengit

18.6K 3.1K 492
                                    

Mau spam komen lagi, ya?
Yang kemarin kurang, ah.


***

"Untung banget lo, gue juga mau kali diadopsi sama Kak Indi. Gemes banget jogging suit-nya. Lo nggak gemes apa?"

Darah rasanya turun dari kepalaku.

Mukaku yang kulihat di pantulan cermin kamar mandi pucat pasi. Aku masih belum terbiasa mendengar orang lain membicarakan status hubunganku dan Adam dengan entengnya. Aku nggak pernah membuka rahasia itu pada siapa pun, kubiarkan yang tahu, tahu, tapi aku tidak pernah dengan sukarela memberitahu. Kenapa Adam harus ngasih tahu mereka? hal-hal seperti ini selalu membuatku tidak nyaman, buatku dia udah seperti adikku sendiri.

Ah. Seharusnya aku nggak mengintip notifikasi di ponsel Adam yang tertinggal di kamar mandi. Untung aku nggak tergoda untuk membukanya.

Lagi pula, apa sih yang salah sama jogging suit-ku?

Berkali-kali aku memutar diri di depan cermin, rasanya nggak ada yang salah. Apa bocah-bocah remaja selalu berpikiran aneh-aneh kalau melihat wanita dewasa berpakaian beda dari yang biasa mereka lihat? Adam juga pernah bilang mereka suka main ke sini karena pengin lihat aku pake baju rumahan. Memangnya mereka pikir setiap hari aku pakai baju resmi apa?

Aku jadi senewen.

Adam memosting foto semacam apa sampai kawannya berkomentar seperti itu? Kulihat di akun facebook dan Instagram-nya nggak ada apa-apa. Jangan-jangan dia menyembunyikan kirimannya dari akunku?

"Kaaak! Buburnya udah, nih!" teriak Adam dari bawah.

Aku menyahut dan bilang akan segera turun. Tukang bubur yang biasa jualan di rute jogging kami tutup, jadi Adam manggil tukang bubur keliling begitu kami nyampe rumah. Mungkin sebaiknya aku ganti baju.

"Mandi?" tanyanya begitu aku sampai di dapur.

Aku menggeleng, aku risih sama komentar Dimas tadi. Bikin aku kepikiran, jadinya aku sengaja ke bawah pake daster kedodoran. Aku bener-bener benci kalau ada suara-suara yang seolah mengingatkanku bahwa kami sudah nggak seharusnya tinggal bersama. Aku yakin Adam nggak punya pikiran macam-macam tentangku, tapi bisa saja suara-suara itu bikin dia awas. Yang tadinya dia melihatku sebagai kakak saja, gara-gara celetukan asal-asalan itu terus dia jadi melihatku sebagai seorang wanita yang bukan siapa-siapanya.

"Kok ganti baju?" dia nanya lagi sambil mulai mengaduk bubur.

"Keringetan," jawabku, menanamkan sendok dalam bubur, menyendok, dan meniup uap panasnya. Aku nggak mengaduk buburku, menurutku kelihatannya jadi nggak layak buat dimakan. "Ponselmu tadi ketinggalan di kamar mandi bawah."

Adam tampak memause gerakannya sedetik, bola matanya secara refleks berlabuh padaku. Lalu dia berdeham saja tandanya dia sudah tahu. Ponsel itu kini ada di atas meja.

"Akhir-akhir ini aku nggak lihat kamu posting sesuatu di media sosial," aku memancing.

Sekarang gerakan mengunyahnya melambat, kalau aku nggak salah lihat.

Kami sama-sama diam.

Tahu-tahu, dia menarik napas panjang, "Kamu ngelihat ponselku?" tuduhnya terus terang. Aku menggeleng seolah itu hal yang tak akan pernah kulakukan. "Kok tahu-tahu nanya gitu?"

"Yah biasanya aku selalu bisa liat postinganmu—"

"Sejak kapan kakak aktif di medsos?"

"Ya enggak ...."

My Younger BrotherWhere stories live. Discover now