Chapter 6. Warna

20.6K 3.8K 494
                                    


M

eski menuntutku tampil 'remaja', malam ini Adam sendiri hanya mengenakan kaus putih berlogo band kesayangannya di balik jaket berkendara. Aku baru menyadari dia tak tampil istimewa saat turun dari motor. Kakinya pun cuma dibalut celana jins berkesan lusuh yang sudah sering kulihat dan sepatu kanvas yang biasa dipakainya ke sekolah. Herannya, dia tampak siap pergi sewaktu menjemputku di kamar.

Mungkin tatanan rambut yang sedikit berbeda dari gayanya sehari-hari yang bikin dia tampil lain. Rambutnya disisir dan dibubuhi hair gel, sesuatu yang tak pernah sempat dilakukannya jika pergi sekolah. Selain selalu mepet beraktivitas setiap pagi, katanya percuma karena dia akan berkeringat lagi sehabis main basket tiap jam istirahat. Saat melepas helm, satu-satunya bagian dari dirinya yang tampak lain itu sedikit berantakan dan membuatku refleks membenarkan beberapa helai yang jatuh seperti semula. Dia tersenyum tipis dan mengucap terima kasih, dengan manis memintaku melepas jaket dan menyimpannya di balik jok motor.

Aku masih menatapnya dengan bangga.

Setiap kali aku mengenalkannya sebagai adikku, aku sedikit berharap kami benar-benar kakak beradik. Adam mungkin mewarisi kecantikan ibunya, sebab seingatku ayahnya dulu tak terlalu mencolok dari segi penampilan. Bukan karena aku tak pernah menyukainya dan selalu menganggapnya saingan almarhum papa, tapi keluargaku yang lain juga sempat mempertanyakan selera mama yang jauh di bawah standarnya selama ini. Mamaku cantik sekali, konon dia hanya berkencan dengan pria-pria ganteng pada masanya, termasuk mendiang papa.

Tapi Adam, dia sangat memesona. Aku sudah menyadari itu sejak dia menginjak remaja. Bahkan, aku selalu mengajarinya merawat diri, biarpun sebenarnya Adam sangat cuek seperti remaja pria lain seusianya. Satu jerawat saja mampir di wajahnya, aku yang akan panik dan membawanya ke dokter kulit. Rupanya, jerih payahku membuahkan hasil. Ia tumbuh dewasa dengan kulit halus tanpa noda. Matahari memang menggelapkan kulitnya sedikit, tapi justru serasi dengan garis wajahnya yang tegas dan maskulin.

"Berapa sih tinggimu sekarang?" tanyaku iseng saat kami berjalan beriringan. Aku sudah mengenakan wedges sekitar tujuh sentimeter, tapi masih jauh kalah tinggi darinya.

Sambil menyelipkan jemarinya ke jari-jariku, alisnya mengerut seperti bertanya kenapa aku menanyakannya.

"Kayaknya beberapa waktu lalu sebelum kita nggak pernah lagi jalan-jalan berdua, aku masih lebih tinggi sedikit."

Adam malah tertawa mengejek.

"Kubilang kan sedikit!" protesku sengit. Kutancapkan kuku-kukuku ke tangannya yang erat menggenggam. "Harus banget sih gandengan, risih."

"Harus," katanya serius, tangannya yang bebas menekan tombol elevator. "Kan kita memang lagi kencan biar aku nggak jadi jones di depan temen-temenku."

"Harga diriku dong yang kebanting dikira jalan sama anak-anak SMA," sungutku, kami melangkah masuk ke dalam ruangan.

"Oh gitu ...," ucapnya. "Harusnya bangga masih bisa jalan sama anak-anak muda, dong. Tante-tante sekarang kan senang main sama berondong."

"Berondong kayak mana dulu yaaa," cibirku nggak terima.

"Memangnya yang kayak gimana?"

"Ya ... yang metroseksual gitu lah, yang pemikat wanita, bajunya keren, naik mobil mentereng, bau wangi parfum Perancis, bukan anak-anak SMA yang pulang sekolah aja badannya asem bau matahari," ejekku habis-habisan.

"Ya itu berondongnya bisa begitu karena si tante-tante yang biayain, tadinya ya anak SMA biasa kayak aku gini," katanya membela diri.

"Hmmm ...." Aku menuding puncak hidung bangirnya. "Tau banget kamu begitu-begituan, siapa yang ngasih tahu, emang?"

My Younger BrotherWhere stories live. Discover now