Chapter 20. Tanpamu

18.4K 3.2K 1.1K
                                    

Spam-spam komen, yaaaa


***

Gisele jenis perempuan yang tak mudah diintimidasi. Saat membukakan pintu yang kutekan bel-nya, dia sama sekali tidak terkejut melihatku tiba-tiba muncul di depan rumahnya seakan-akan dia sudah menanti kehadiranku.

Aku agak mempersiapkan diri kalau-kalau dia bersikap sama buruknya denganku malam itu, tapi dia malah tersenyum seolah ingin mengatakan bahwa kehadiranku di sana tak akan banyak berpengaruh. Selain itu, dia seolah terlahir dengan riasan wajah, warna-warna cantik nan memesona itu bagaikan menyatu dengan kulitnya dan tak bisa dihapus, membaur sempurna menyokong kepercayaan dirinya yang sangat tinggi. Bibirnya bagaikan benar-benar semerah buah delima, aku harus meyakinkan diriku bahwa warna itu didapat dari pewarna bibir yang sangat bagus.

Secara otomatis, aku membandingkan diriku dengannya. Mungkin sekali kami seumuran, tapi Gisele bagai datang dari kalangan yang jauh berbeda denganku. Dia mengendarai mobil mewah, wanginya mahal, mungkin dia punya karir cemerlang sehingga pria-pria sebayanya tak mampu mengimbangi dan membuatnya senang bermain-main dengan anak muda seperti Adam.

Terus terang, aku merasa rendah diri. Hari Seninku buruk, aku tidak berdandan karena tak ada janji bertemu dengan nasabah, nyaris tidak makan apa-apa karena banyak pikiran, serta kurang tidur. Terakhir kali kucek di spion tengah sebelum keluar mobil tadi, penampilanku hampir tak ada bedanya dengan tadi pagi sebelum mandi. Sementara Gisele mengenakan busana terbuka yang menurutku akan manis jika dikenakan Katya (masih cukup manis dikenakannya), aku mengenakan setelan katun membosankan yang—seperti kata Adam—paling pantas dikenakan pegawai kantoran pada hari Senin. Terlebih Senin yang buruk.

Aku beruntung ini memang hari Senin.

"Ya?" Gisele bersikap seperti tidak mengenaliku.

Atau mungkin memang dia tak mengenaliku?

"Aku ingin bertemu dengan Adam," ucapku—lebih seperti memberi tahu daripada meminta izin—sambil menutup bagian depan blazerku, entah mengapa.

"Adam nggak mau ketemu," katanya, tersenyum lebar. Rupanya dia bukan tidak mengenaliku, tapi sengaja memperlakukanku sebagai seseorang yang tak berhak berada di sini.

"Jadi dia ada di sini?" tanyaku, melongok ke balik bahunya.

"Tentu dia di sini, tapi dia nggak mau aku bilang ke kamu bahwa dia ada di sini, India—itu namamu, kan?"

Kupingku memerah, mungkin begini juga yang ia rasakan saat aku menyindirnya dengan pertanyaan apa-kamu-teman-Adam malam itu. "Gisele," aku harus bersabar. "Dia adikku, aku berhak tahu keadaannya."

Gisele menatapku, mulai ada keraguan terbersit di wajahnya.

"Apa dia tidak bilang bahwa aku kakaknya?"

Apa Adam tidak memberitahunya?

"Dia sudah dewasa," katanya, meyakinkan dirinya sendiri. "Kamu kakaknya atau bukan, dia sudah boleh menentukan sikapnya sendiri. Sekarang pulanglah, dia ingin di sini bersamaku, kalau ternyata dia berubah pikiran, aku akan mengantarnya pulang."

"Ke mana kamu akan pergi?" seketika aku meradang, tak pernah dalam hidupku seseorang mengklaim Adam seolah ia lebih berhak dariku. Seumur hidup setelah ayahnya meninggal bersama ibuku, semua orang menolaknya, hanya aku yang bersedia merawatnya. Seharusnya dia tidak bicara seperti itu padaku. "Kamu mengangkut semua barang-barangmu, mau kamu bawa ke mana dia?"

"Aku nggak mau bawa dia ke mana-mana," katanya. "Dia yang mau ikut denganku."

Rahangku mengetat, "Jangan main-main," kecamku.

My Younger BrotherWhere stories live. Discover now