Chapter 1. India

42.1K 5.3K 320
                                    

Chapter 1

"Kamu nggak nyoba jelasin sekali lagi ke Satrio?"

Aku refleks menutup pintu kamar saat mendengar pintu depan membuka. Sebelum menjawab, mataku melirik sekilas pada jam dinding yang menunjuk pukul enam petang lewat beberapa menit. Adam telat lagi.

"Sudah, kok, Tan. Dia udah tahu kalau itu bagian dari masa lalu Indi, tapi ... ya gitu ...."

"Dia nggak bisa nerima masa lalu kamu itu?"

Tak perlu kujawab, Tante Lydia sudah langsung paham. Napas beratnya mengembus tertahan, "Kok bisa dia nemu foto-foto lamamu?" tanyanya lembut.

"Ada yang ngirimin ke akun facebooknya. Lagian ... cepat, atau lambat dia akan tahu juga, Tante—"

"Tapi kalau tahunya langsung dari kamu, atau nanti-nanti, kan ceritanya bisa lain. Lagian ... itu kan cuma sekali, majalah lamaaa banget pula, nggak terkenal ... kurang ajar juga yang ngirim ke dia, maunya apa, sih? Kok ya dia tahu kamu lagi dekat sama Satrio, bukannya kalian baru keluar sekali setelah Tante kenalin waktu itu?"

"Iya ...."

"Kamu tahu siapa kira-kira yang usil begitu?"

Aku diam, sebenarnya aku cukup tahu. "Nggak tahu, Tante ...."

"Pasti teman dekat kamu, atau teman dekat dia, yang sudah tahu kalau kalian sedang diatur supaya berjodoh. Bagaimana menurutmu?"

"Bisa jadi, Tan ...."

"Kamu nggak berusaha nyari tahu?"

"Nanti-nanti lah, Tan."

"Kamu ini selalu aja santai ... kayak di pantai, mau sampai kapan? Kalau bolak-balik begini, ya susah mau dapetin calon suami buatmu. Kamunya juga kayaknya pasif banget, nggak berusaha, atau gimana. Masa kamu mau sendirian terus nemenin anak itu?"—suara Tante Lydia sempat meninggi, kemudian beliau menghela napas, dan melembut kembali—"Kamu pengin menikah, atau enggak, sebenarnya, Ndi?"

"Pengin, Tan ...."

Tante Lydia terdengar tak puas. "Kamu nggak pengin nikah, yo?"

Aku menahan napas. "Terus terang ... Indi nggak ngotot, kok, Tante ... tapi bukannya nggak kepingin. Nanti juga ada jodohnya."

"Umurmu, lho."

Sabar, India ... orang tua memang selalu begitu, bukan berarti dia bermaksud buruk. Dia hanya ingin memastikan ada yang menanggung hidupku, sehingga kalau ada apa-apa, mereka nggak perlu turun tangan langsung seperti sepuluh tahun belakangan. Meski sudah kubilang aku cukup dewasa dan mampu menghidupi diri sendiri, mereka tetap saja saudara-saudara mendiang mama yang 'baik hati'. Bagus mereka masih perhatian kepadaku.

"Maaf kalau Tante nyinggung beginian terus, Tante pengin kamu bahagia. Adik kamu yang bungsu udah mau nikah juga, kamu nunggu apa lagi?"

Adik bungsu yang dimaksud Tante adalah putri bungsunya sendiri, bukan adik kandungku. Aku anak tunggal. Sejak jadi yatim piatu, meski tak pernah serumah karena aku bersikeras meninggali rumah mama, mereka menganggapku seperti anak sendiri. Tante Lydia dan suaminya membiayai sekolahku hingga perguruan tinggi, sementara itu aku bekerja sambil kuliah untuk biaya hidup dan uang sakuku. Hingga aku lulus dan mendapat pekerjaan layak, mereka masih banyak menyupportku. Aku tak bisa begitu saja menepis kebaikan-kebaikan hati mereka, termasuk mencarikan jodoh di penghujung dua puluhanku.

Untuk menjawab pertanyaan Tante Lydia, aku menggurauinya. "Nunggu jodoh, dong, Tante."

Tante Lydia menggerutu, walaupun akhirnya tertawa meski terdengar dipaksakan. "Ya sudah lah, Tante doain semoga segera aja ketemu jodohnya, deh," katanya lesu. "Tante khawatir, In—"

My Younger BrotherWhere stories live. Discover now