Chapter 7. The Fire I Love About You

22.4K 3.7K 299
                                    

Aku selalu tahu Adam senantiasa menyayangiku.

Mungkin lebih dari rasa sayangku padanya. Saat kuputuskan merawatnya, daripada sayang, aku lebih merasa bersalah pada seorang bocah yang kehilangan segalanya di usia yang begitu belia.

Ibunda Adam meninggal saat melahirkannya. Untuk bocah yang tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan asisten rumah tangga jika ayahnya bekerja, dia begitu manis dan penurut. Kata mama, dia tak butuh waktu lama untuk membuat Adam jatuh hati padanya. Saat aku kehilangan papa yang kupuja, aku sudah lebih tua dari Adam saat kehilangan kedua orang tuanya.

Sejak kami diperkenalkan satu sama lain tak lama setelah aku merestui hubungan mama, tak pernah sekalipun aku bersikap ramah padanya. Tapi, anak itu tak pernah tampak membenciku. Dia selalu menatapku diam-diam tiap kali kami ditinggal berduaan di ruang tengah sementara mamaku dan papanya menyiapkan makan malam di dapur rumah kami. Aku tak pernah mau gantian berkunjung ke rumah mereka.

Seolah penderitaannya tak cukup banyak, dia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa sisa keluarganya tak terlalu berminat berurusan dengannya. Jangankan saudara dari ibunya yang telah tiada dan bahkan tak muncul di pemakaman papa Adam, kakak kandung pria itu pun tak sudi merawat keponakannya sendiri dan malah merelakannya begitu saja saat kubilang aku tak keberatan menjaganya.

Dia punya seribu alasan untuk tumbuh jadi pembangkang, atau menyalahkan keadaan yang menimpanya, tapi dia justru menjadi anak manis yang perlahan mengubahku. Aku tak pernah menyangka, aku yang manja dan penuntut bisa begitu kuat tanpa penyangga, bahkan bisa membesarkannya, selain merancang masa depanku sendiri. Memang bukan masa depan impian, tapi yang kumiliki selama ini lebih dari cukup bagiku.

Yang kutak tahu, Adam ternyata menyimpan setumpuk pendapat yang selama ini ditimbunnya sendiri dan baru diluapkannya setelah ia merasa inilah saat yang tepat. Saat ia sudah lulus sekolah, saat aku mulai bisa berbalik mengandalkannya.

Setelah puas mengalihkan perhatian sebagian pengunjung mal ke arah kami yang dengan santainya bercermin di depan toko pakaian, kami tertawa sendiri dan menepi seperti orang tolol.

"Kamu belajar di mana nyusun kalimat seperti itu?" tanyaku malu-malu. "Sudah lama ya nunggu buat bilang begitunya?"

Adam menggerakkan bahu. "Sebenarnya nggak niat diucapkan, kok," katanya. "Tapi lama-lama aku kasihan aja sama kakak. Sekuat-kuatnya orang, pasti ada batasnya."

"Menurutmu ... aku udah sampai batasnya?"

"Hmmm ...." Adam membuat ekspresi berpikir serius. "Yang tahu batasnya kayaknya sih orang yang ngerasain, cuma ... aku takut telat ngasih warning."

"Sok tahu." Aku pura-pura mencemooh. "Anak kecil tahu apa?"

"Kalau cuman kayak gitu, aku tahu lah ... aku tuh belajar dari film favorit kakak."

"Film apa?"

"Titanic."

"Sejak kapan coba Titanic jadi film favoritku?"

"Bukan film favorit, tapi kalau lagi nggak ada tontonan, selalu diulang-ulang!"

Aku tertawa geli sendiri. Habis ... film itu bikin aku inget mama, dulu beliau selalu nangis nontonnya meski diulang berapa kali pun.

"Tapi apa hubungannya sama film itu? Bagian mana, sih?"

Adam mendecap dan memutar bola mata karena aku nggak paham juga apa maksudnya. "Kakak inget nggak waktu Jack narik Rose ke gym room sore hari sebelum kapal tenggelam?"

Aku mengingat-ingat.

"Waktu Rose ketahuan jalan sama Jack di pesta dansa kelas bawah, terus besokannya dia dimarahin mama sama tunangannya! Astaga aku aja sampai hafal. Yang habis itu sorenya dia datengin Jack dan mereka pacaran di dermaga itu, lho. Kakak aja selalu keliatan greget pas bagian itu, kakak selalu berkaca-kaca pas Jack ngeyakinin Rose, bukan pas mereka akhirnya mati di tengah laut!"

My Younger BrotherWhere stories live. Discover now