Sebelas Tahun yang Lalu

67.7K 5K 183
                                    

PROLOG

Aku sempat kurang setuju dengan keputusan mama menikah lagi.

Bukan kurang, melainkan sangat tak setuju.

Demi menentangnya, aku bahkan pernah pergi dari rumah sampai beberapa hari. Kami berdebat dan terus berselisih paham, mulai dari saling berteriak, hingga perang dingin. Hal itu berlangsung hingga hampir dua tahun, dan mama akhirnya menyerah karena pria yang bersamanya berniat memutuskan hubungan, tak ingin membuatku menderita, tak ingin membuat hubungan ibu dan anak retak.

Kalau dia tak pernah menyerah, aku mungkin tak akan berubah pikiran.

Merestui pernikahan ibu tak pernah mudah bagiku, berulang kali aku berpikir ingin menarik kembali keputusanku. Aku benci sekali melihatnya bahagia dan melupakan mendiang ayah begitu saja. Meski sudah cukup dewasa, aku belum bisa menerima bahwa ibuku hanya wanita biasa yang masih membutuhkan cinta dan kasih sayang.

Kadang, aku tak tahan melihat wajahnya berseri-seri, apalagi saat ia memperlakukan bocah berusia delapan tahun itu seperti anaknya sendiri.

Namun, aku juga tak bisa membiarkan begitu saja saat anak kecil yang sama dibawa ke rumahku setelah kecelakaan nahas itu terjadi.

Dia tampak ketakutan, dan untuk pertama kalinya sejak kami dipertemukan beberapa bulan sebelumnya, aku menyentuh, bahkan memeluknya. Orang tua kami belum jadi menikah, tapi maut sudah mempersatukan mereka.

Aku masih ingat jelas tangan mungilnya tak mau melepas lenganku saat kami duduk di selasar menunggu kabar dari dokter. Jantungku berdegup kencang sepanjang malam, dalam hati aku sudah memperkirakan kemungkinan terburuk.

Usiaku sendiri baru berganti menjadi delapan belas dua hari sebelum dokter muncul dari ruang operasi dengan wajah pucat pasi. Dia hanya menggeleng samar, dan seluruh sanak saudaraku yang memenuhi ruang tunggu rumah sakit menangis histeris saat seharusnya mereka datang dari berbagai kota untuk membantu acara pernikahan.

Saat itu aku baru menyadari tak seorang pun dari pihak pria yang akan menikahi ibuku datang malam itu.

Sewaktu Om, Tante, dan handai taulan memelukku secara bergiliran, anak kecil itu memeluk lututnya seorang diri di atas bangku panjang yang lengang dan dingin. Dari balik bahu orang-orang yang membenamkan wajahku dalam kehangatan dan janji mereka tak akan mengabaikanku, mataku tak lepas darinya.

Aku terus menanti wajah asing yang tak kukenali, tapi tak seorang pun hadir.

Anak yang lantas tertidur sampai pagi dalam pelukanku itu ... sebatang kara.



My Younger BrotherWhere stories live. Discover now