Chapter 11. Just Us

17.9K 3.3K 365
                                    

Postingan terakhir sebelum libur lebaran.


***

"Lho ... India ... baru datang?"

Aku tengah mengunci pintu mobil ketika Kartika, salah satu putri Tante Claudia yang sudah berkeluarga dan kebetulan juga sedang turun dari mobil bersamaan denganku, menyapa.

Aku mengangguk sambil mendekat, menjawil pipi putra kecil dalam gendongannya.

"Kena macet juga?" bisiknya sambil mengedipkan sebelah mata tanda tahu sama tahu.

Senyumku mengembang paham, acara seperti ini diadakan terlalu rutin hanya karena yang tua-tua yang mau. Yang seumuran dengank (apalagi yang lebih muda), meski mungkin sebenarnya nggak keberatan, tapi sebulan sekali memang rasanya sedikit terlalu berlebihan. Belum kalau nggak datang, pasti dikira ada apa-apa, malas, tak perhatian, padahal bisa jadi hanya kebetulan sedang ada acara lain yang lebih penting, atau lebih jarang terjadi.

Mendengar deru mobil berhenti di depan rumah, sebagian tante dan bude menghambur keluar.

Tante Lydia yang sudah seperti pengganti mamaku langsung menyodorkan tangannya untuk kucium. Beliau mencari-cari, "Adam mana?" tanyanya.

"Ada acara di sekolahnya, Tante," jawabku pendek dan pelan.

"Bukannya kemarin udah dibeliin baju?"

Aku hanya mengulas senyum membenarkan.

Sementara dahi Tante Lydia mengerut, Tante Claudia—adik mama yang bungsu—melintas dengan cucu di gendongannya sambil menyambar, "Ada acara apa, sih? Bukannya sekolahnya sudah selesai?"

"Biasa lah Tante, class meeting gitu barangkali."

"Di mana-mana yang namanya anak pungut selalu kayak gitu, nggak tahu balas budi, mentang-mentang udah bisa sendiri, langsung keliatan sifat aslinya," racau perempuan yang wajahnya paling mirip mamaku itu.

Ya Tuhan.

Bulu kudukku meremang, padahal Adam bukan satu-satunya keluarga yang disebutnya 'anak pungut' karena tak ada pertalian darah. Salah satu pamanku yang belum punya momongan juga hadir bersama anak yang diadopsinya, bagaimana perasaan anak itu kalau mendengar racauan semacam itu?

Memang, di satu sisi, aku bisa memaklumi kemarahan Tante Claudia dan sebagian besar anggota keluarga usai mendengar penjelasan singkatku mengenai absennya Adam, kurang dari satu jam lalu aku juga merasa dikhianati oleh perkataan pemuda itu. Apa salahku sampai menurutnya aku berhak disasar kemarahan sedemikian rupa?

Namun di sisi lain aku juga mengutuk reaksi Tante Claudia, apa pengaruhnya Adam ada di sini atau tidak baginya? Dia hampir tidak pernah membantu kami selain rajin memberi saran yang selalu memojokkan Adam. Terutama sejak Adam menginjak remaja, ia tak pernah menunjukkan raut senang di depannya. Putra-putrinya tak jauh berbeda, mereka tak pernah mau berusaha membuat Adam merasa berada di rumah sendiri. Bukannya yang lain sangat ramah dan hangat terhadap Adam, tapi kukira Tante Claudia akan jauh lebih senang jika ia tak hadir.

Sebaliknya, beliau justru tampak sangat kesal, melebihi yang lain.

Jika Adam mengira aku senang di sini, dia salah. Aku pun mendapat tekanan yang sama dalam bentuk dan alasan yang berbeda. Ia masih punya aku yang selalu melindunginya, menutup telinganya dari ucapan-ucapan yang menyakitkan, aku malah nggak punya siapa-siapa. Aku hanya ingin kami saling mendukung, bukankah dia juga ingin kami terus bersama?

Kupikir kemarin kami sudah menemui jalan tengah yang saling menguntungkan, aku juga enggan terus menerus bertikai seperti ini. Dia memang masih anak-anak, sekalinya ada yang bikin kesal, langsung meledak. Masa hanya karena baju yang kubelikan kekecilan dia ngomong begitu? Dia pikir aku ini batu, nggak punya perasaan?

My Younger BrotherWhere stories live. Discover now