S e m b i l a n

Começar do início
                                    

****

Semua pandangan tertuju padanya yang memilih duduk bersimpuh di samping kursi roda ibunya. Yai Muayyad memberinya isyarat agar Farras duduk di sofa kosong di samping bapaknya. Yang dimaksud malah mengalihkan pandangannya ke segala arah yang dapat ia jangkau.

Ia nampak kurang suka dengan pandangan remeh keluarga Mbah Yai Dim terhadap ibunya. Terutama pandangan wanita antagonis itu. Ia berdecih menangkap netra wanita yang beberapa bulan lagi akan menjadi istrinya.

Dari pandangannya tersirat bahwa ia ragu jika Ning Mazida akan menyayangi ibunya sebagaimana Kana menyayangi ibunya tanpa alasan. Ia semakin enggan melanjutkan perjodohan sepihak ini.

•••

Gus Farras POV

"Mari kita mulai saja musyawarah kita malam ini" Mbah Yai Dim membuka pembicaraan ditengah keheningan yang tersisa.

"Baik Yai, jadi kapan tepatnya pernikahan Farras dan Ning Mazida akan dilaksanakan?"

Aishh... Bapak nih nggak ada basa-basi nya banget si? Masak langsung to the point gitu. Ngebet banget apa aku nikahin Ning Mazida?

"Gimana Ning Mazida?" Bapak mengalihkan pertanyaannya kepada Ning Mazida.

"Mazida nderek Mas Farras mawon Pak"

"Benar-benar calon istri solihah Ning Mazida ini" Bapak tertipu mulut manis wanita antagonis itu dan malah memujinya.

Apa katanya? Mas? Jadi siapa yang lebih tua disini? Aku? Cihh!!

Belum selesai dengan keterkejutanku, kini pandangan semua orang beralih menatapku yang sibuk menggerutu dalam hati.

"Farras ingin berhenti dari perjodohan ini!"

Ahh... Andai saja aku mampu menolak keinginan Bapak. Pasti jawaban itu yang akan kukeluarkan.

"17 Syawal" Haahh??? Kenapa juga aku menjawab seolah aku setuju dengan perjodohan ini??

"Baik kami setuju" Mbah Yai Dim sepakat dengan jawaban spontanku. Yaah setidaknya, aku masih punya tenggang waktu untuk menjelaskan ini semua kepada Kana. Ia tak boleh salah paham dan mengira jika aku mempermainkan perasaanya.

Tunggu. Tapi bagaimana caraku menghubungi dia? Semua sosial medianya bahkan sudah tidak pernah nampak menghiasi beranda dan seakan hilang ditelan dunia. Tanpa jejak.

****

Flashback on...

Siang ini matahari bergelayut malas diantara lekuk-lekuk awan yang memenuhi hamparan biru nan luas yang biasa disebut---Langit. Ranting pepohonan disamping kamarnya menari kesana-kemari tersentuh bayu. Terpaan angin yang sedikit kencang menggugurkan dedaunan yang sudah tenggang masa hijaunya ke tanah.

Ya, seperti itulah daun. Ia tak akan pernah membenci angin walau kadang setega itu angin memaksanya pergi dan membuatnya jatuh--terinjak--terbakar. Barangkali itu memang takdir yang tertulis dalam 'Arsy-nya.

Lelaki berdagu lancip itu masih menopang dagu menatap kosong jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Jari-jemarinya bergerak tak beraturan seiring dengan deru napasnya yang kian memburu. Butir-butir keringat mengalir begitu derasnya hingga membuat tubuhnya sempurna basah.

TheShouq : (Mahabbah Rindu)Onde histórias criam vida. Descubra agora