"Apa sih yang bikin lo nggak bisa percaya sama gue? Apapun tentang lo, gue selalu lakuin. Bahkan gue bahayain diri gue cuman buat lo. Kurang apa lagi gue, Ren? Sampe lo nggak bisa percaya sama gue."

Reysa berdecih, memukul besi pembatas dengan keras. Rasanya ia memang tidak diinginkan oleh semua orang. Ketika ia berbuat baik saja, orang lain tidak menghargainya. Rasanya, ia salah berada di dunia ini.

"Sejak awal, lo cuman mau main-main sama gue. Jadi, nggak ada alasan lagi gue ngasih lo kesempatan. Gue emang masih cinta sama lo, tapi gue nggak sudi lagi ngasih kesempatan buat orang yang nggak pernah percaya sama apa yang gue lakuin."

Reysa menoleh, mendapati wajah putus asa milik Renald. "Gue bukan budak cinta yang akan selalu tunduk sama orang yang dicinta. Jadi, lo paham kan sekarang? Gue bukan cewek lemah yang bisa takluk lagi."

Reysa berbalik, melangkah meninggalkan Renald yang masih diam di tempatnya. Baru beberapa langkah, Renald bersuara, membuat Reysa menghentikan langkahnya.

"Gue cuman berusaha perbaiki yang pantes diperbaiki. Gue nggak mau nyesel kaya, mama."

Reysa meluruskan pandangannya. Menatap pintu rooftop yang tertutup rapat. Entah mengapa, jantungnya berdebar setelah mendengar itu. Tapi ini sudah menjadi keputusannya. Apapun itu alasannya, ia sudah tidak peduli lagi.

Namun, ia merasa tak rela akan ini. Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya? Reysa menghela napas, kembali berbalik menatap Renald yang masih menatap gedung-gedung menjulang tinggi.

"Kita nggak pernah tau tentang takdir kita sendiri. Gue juga nggak tau, kedepannya akan seperti apa."

Reysa mengepalkan tangannya. "Kita masih bisa temenan. Nggak harus balik lagi kaya dulu."

Setelahnya Reysa beranjak. Meninggalkan Renald yang tengah memandang punggung mungil milik Reysa yang kian menjauh.

****

Kantin tampak ramai oleh banyak siswa. Bahkan semua meja yang berada di sana sudah penuh oleh para murid yang tengah lapar siang ini. Untung saja Reysa dan teman-temannya sudah lebih dulu mendapatkan tempat duduk. Jadi mereka tidak perlu kembali ke kelas lagi.

Sedari tadi, Reysa terus menyibukkan diri dengan ponselnya. Di sampingnya ada Veran, yang tengah bermanja-manja dengan Regita. Reysa memilih tidak peduli pada keduanya dan juga mereka yang merasa terganggu dengan tingkah sok romantis Veran.

Reysa menselonjorkan kakinya, tapi malah menendang kaki seseorang, membuat gadis itu mengangkat wajahnya dan memandang orang yang terkena sasarannya.

Pandangan mereka bertemu. Namun, dengan cepat Reysa kembali menatap layar ponselnya. Di sebelah kirinya, Aldi yang terlihat memandang keduanya. Laki-laki itu tahu, mereka masih saling mencintai, namun salah satu dari mereka tidak bisa kembali menerima apapun.

Reysa membuka laptopnya. Gadis itu sengaja membawa ke sana, karena ada hal penting yang harus segera dikerjakan. Tapi perutnya juga meronta minta diisi makanan yang enak. Alhasil, ia harus repot-repot membawa laptopnya ke kantin.

Aldi sedikit mengintip apa yang tengah dilakukan Reysa. Laki-laki itu menopang dagunya, sembari memperhatikan jari lincah yang tengah menari di atas keyboard.

"Bentar." Aldi menghentikan aktivitas Reysa. Gadis itu berhenti menggulir, dan menoleh pada laki-laki itu. "Kok ada si Stella?"

Pandangan Veran kini teralih pada laptop yang tengah menyala. Laki-laki itu menyipitkan matanya untuk memperjelas pandangan.

"Wah, nggak bener tuh orang," ujar Veran yang merasa tidak terima dengan apa yang sekarang ia lihat.

Reysa mendengus. "Kemarin gue iseng aja ngeretas, eh malah dapet ginian."

"Devan tau?"

Reysa mengangguk. Orang pertama yang Devan cari adalah dirinya. Devan juga bersyukur, karena laki-laki itu belum menyatakan perasaannya pada Stella. Apa yang akan terjadi jika Stella sudah menjadi bagian dari mereka? Bisa-bisa Bimo tahu apa yang akan mereka buat pada laki-laki itu.

"Reysa!"

Semua yang berada di meja itu, refleks menoleh secara bersamaan. Mencari seseorang yang tiba-tiba memanggil nama Reysa.

Stella, gadis itu datang. Membawa sebuah paperbag berukuran kecil sembari menampilkan senyum andalan gadis itu. Dengan sigap, Reysa menutup laptop itu dan membalas senyuman Stella.

"Nih, tolong kasihin ke Devan, ya?"

Reysa menerimanya. "Kenapa nggak ngasih sendiri?"

Stella meringis, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. "Em... entar gue mau pergi. Jadi nggak bisa ngasih langsung ke dia."

Reysa manggut-manggut, berlagak mengerti tentang apa yang dikatakan Stella. Berpura-pura tidak tahu apapun yang akan gadis itu lakukan nanti.

"Makasih, ya?"

Setelahnya gadis itu beranjak dari sana. Meninggalkan area kantin dengan terburu-buru. Reysa mengintip apa yang ada di dalam sana, ternyata sebuah kotak jam tangan.

Ia meraih kotak itu, dan membukanya. Namun, jam tangan tersebut terlihat ada yang janggal. Modelnya memang keren, tetapi ini termasuk jam yang harganya mahal. Tidak mungkin kan, Stella membelikan jam tangan ini hanya untuk Devan yang bukan siapa-siapa gadis itu?

"Gila aja ya si Stella beliin cowoknya jam mahal kaya gitu." Reno ikut mengamati sebuah jam tangan yang berada ditangan Reysa. Ia sangat tau tentang banyak model jam tangan. Yang mahal ataupun murah ia sangat paham.

Reysa kembali mengemasinya. Ia merapikan laptop, dan segera beranjak dari sana tanpa mengucapkan sepatah katapun. Mereka hanya bisa memandang heran punggung Reysa yang kian menjauh.

****

Tbc.

DISPARAÎTRE [END]Where stories live. Discover now